Rabu, 16 Juli 2014

TED & TEDx Explained

Komunitas Bravo

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta Jadikan Teman | Kirim Pesan inShare Komunitas Bravo OPINI | 17 October 2012 | 17:50 Dibaca: 194 Komentar: 0 0 Bravo Oleh Citra Ashri Maulidina Kalau mereka yang memiliki hambatan dapat semangat dalam menjalani hidup justru kita yang diberikan “kesempurnaan” oleh Tuhan sudah seharusnya kita berbagi dan saling membantu satu sama lain. Dibalik rencana Tuhan yang indah yang tidak kita ketahui. Kamis, 26 Januari 2012 waktu menunjukan pukul dua siang. Tepat di pinggir halaman mesjid At-Taqwa, yakni mesjid yang lokasinya berada diluar komplek Uiversitas Negeri Jakarta. Suasana siang itu dengan angin yang berhembus cukup kencang dari pohon-pohon rindang yang tumbuh di sekitarnya serta langit yang biru cerah cerah, juga terlihat beberapa anak usia sekolah dasar meramaikan lapangan sepak bola siang itu untuk sekedar bermain bola. Kali ini aku tidak hanya sekedar duduk manis di pinggir halaman mesjid menikmati indahnya pemandangan akan tetapi mencoba menggali informasi tentang komunitas Bravo. Langsung dari pendirinya sekaligus koordinator umum. Dialah Rani Aziz,pria yang biasa dipanggil mas Aziz ini berusia 27 tahun dan saat ini sedang mengajar di SLB Negeri 5 Jakarta. Tingginya yang semampai,rambutnya yang hitam lebat hingga batas kuping, matanya yang besar lngkap dengan kacamata serta kulitnya yang agak hitam. Darinya aku banyak mendapatkan informasi mengenai komunitas bravo. Bravo adalah komunitas yang bergerak di bidang sosial atas dasar kepedulian terhadap disabilitas. Salah satunya dalam segi orientasi mobilitas. Disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Orang yang membantu mereka para disabilitas ini dikenal dengan istilah sukarelawan atau volunteer. Bravo resmi berdiri pada Februari 2005 atas pemrakarsa tujuh orang mahasiswa yang berasal dari Universitas Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, dan Universitas Mercu Buana. Dialah Aziz,Ira,Bimo,Igi,Santoso,Mario,dan Ito. Mereka mahasiswa yang berbeda latar belakang, akan tetapi dari pemahaman dan pemikiran merekalah Bravo akhirnya tercetus. Igi terpilih sebagai ketua yang pertama dengan masa jabatan empat tahun. Tidak ada kepanjangan dari Bravo nama ini merupakan nama yang menjadi pilihan bagi para pendidirnya. Dengan visi menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan sekitar terutama bagi penyandang disabilitas juga dengan misi memberikan ilmu terkait penyandang cacat. Motto Bravo adalah Keterbatasan bukan berarti dunia terbatas. Dan dengan icon gambar tangan terbuka merupakan karakteristik dari Bravo. Arti gambar tangan terbuka yang menjadi icon Bravo menandakan bahwa Bravo ketika tangan terbuk kita akan dapat membantu dan berbuat sesuatu untuk orang lain. Begitupun bagi penyandang disabilitas. Sedangkan slogan keterbatasan bukan berarti dunia terbatas menandakan bahwa keterbatasan yang dialami penyandang disabilitas bukan berarti dunia mereka terbatas begitu saja masih banyak hal yang dapat mereka lakukan bahkan terkadang jauh lebih hebat dari kita yang dianggap normal. Jika dapat memilih tidak ada anak yang ingin dilahirkan ke dunia dengan keterbatsan akan tetapi kuasa Tuhanlah yang menggariskan semuanya. Saat ini jumlah anggota beserta pengurus adalah 170 orang dari beberapa Universitas. Memang yang paling banyak berasal dari Pendidikan Luar Biasa UNJ akan tetapi bukan berarti Bravo milik UNJ, itulah yang selalu ditekankan Mas Aziz kepada para anggota selaku koordinator umum. Untuk menjadi pengurus di Bravo tidak begitu sulit yang penting kita punya niatan hati yang ikhlas untuk menjadi seorang volunteer tanpa iming-iming bayaran dan komersial. Tidak ada pelatihan khusus setiap minggunya, Jika ingin volunteer biasanya diadakan breafing dahulu sebelum dimulai acaranya. Dan saat itulah dijarkan bagaimana melakukan volunteer yang baik dan benar. Tidak kaku seperti jika kita ingin masuk Badan Organisasi di Kampus. Jika kita sudah volunteer selama tiga sampai empat kali biasanya akan ditanyakan “mau tidak jadi anggota” dengan tidak memaksa dan mencoba mengerti jika tertarik dan menjawab iya, maka saat itu juga ia menjadi anggota dan diberikan name tag yang harus dipakai selama jadi volunteer di berbagai acara. Di Bravo tidak pelantikan khusus untuk anggota akan tetapi hanya ada pelantikan pengurus saja. Anggota terbuka untuk siapa saja yang terketuk hatinya menjadi volunter. Sedangkan pengurus dipilih saat Rapat Kerja bersama. Komunitas tidak sama dengan organisasi. Organisasi yang terstruktur dari mulai pengurus,AD ART, Bahkan perizinan yang legal. Tidak ada AD ART, yang ada aturan tertulis berbentuk konsesium. Soal tempat biasa komunitas ini berkumpul adalah di bawah pohon rindang. “Kita memang tidak punya sekret secara fisik cit, bagi kita sekret ada di bawah pohon rindang,tempat kita biasa bertemu, jadi kalo ngumpul kita biasa suka kasih tau, ni nanti kita kumpul disini” tutur mas Aziz. Untuk penyimpanan berkas disimpan dirumah sekertaris, Dewi. Komunitas Bravo tidak ada izin secara de jure akan tetapi secara de facto telah diakui. Dari mulai organisasi sosial bahkan sampai tingkat pemerintahan Bravo telah dikenal. Dari mulai merasakan volunteer di daerah Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri seperti Bangkok dan Jepang. Bravo memang satu-satunya komunitas di Indonesia yang bergerak dalam membantu penyandang cacat. Silahturahmi antar sesama anggota dan pengurus pun tidak tenggelam begitu saja meskipun sudah tujuh tahun berjalan. Saat ini Anggota tersebar diseluruh daerah di Indonesia. “Kebanyakan alumni yang sudah bekerja juga menjadi PNS di daerah-daerah” tutur Mas Aziz. Komunikasi terjalin melalui Facebook yang bernama Bravo Penca. Berbagai informasi tentang perkembangan Bravo,tentang volunteer,juga tentang apa saja yang sedang dibutuhkan terjalin disini. Melalui jejaring sosial ini mereka manjadikanya sebagai tempat untuk menjalin silahturahmi,meskipun hanya melalui jejaring social kan tetapi silahturahmi tidak pernah putus. Bravo menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi sosial penyandang disabilitas. Seperti PERTUNI(Persatuan Tunanetra Indonesia), ITMI (IKatan Tunanetra Muslim Indonesia), Sejihra (Sehat Jiwa Raga), PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), HWDI (Himpunan wanita Disabilitas Indonesia). Bravo sudah dikenal di Indonesia karena memang hanya satu-satunya komunitas yang membantu disabilitas dari berbagai aspek. Setiap ada acara yang diadakan berbagai organisasi social penyandang cacat Bravo selalu diundang untuk membantu mereka dalam orientasi mobilitas. Tunanetra yang memiliki hambatan dalam pennglihatan dan kesulitan dalam mengenal tempat baru baik dimana letak toiletnya, ruang acaranya,tempat makannya,dan berbagai orientasi lainya. Tidak hanya Tunanetra tetapi dengan penyandang disabilitas yang lain dalam membantu kelancaran acara. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Bravo melakukan pendampingan dari berbagai kerjasamanya dengan organisasi sosial. Setiap Organisasi masyarakat yang ingin menyelenggarkan acara pasti membutuhkan bantuan bravo untuk hal Orientasi mobilitas. Dengan menghubungi pengurus dan member tahu kapan acaranya dilaksanakan dan butuh volunteer berapa orang. Maka dengan segera melalui humas dan koordintor divisi volunteer mencari relawan yang dapat membantu baik dari pengurus,anggota,bahkan yang bukan anggota. Sudah hampir tujuh tahun Bravo berjalan. Bukan tanpa kerikil-kerikil kecil yang menghadap. Justru semakin maju sebuah komunitas maka akan semakin banyak juga yang tidak suka, ibarat kita manusia pasti ada yang suka dana ada yang tidak. “ada yang bilang kita bravo komunitas mau show up” tutur mas Aziz. Berbagai selentingan miring justru tidak pernah diambil pusing.Malah dijadikan bahan evaluasi bagi Bravo. Akan tetapi sisi baiknya, Bravo dikenal banyak dosen khususnya pendidikan luar baias. Banyak dosen dari jurusan ini menganjurkan untuk masuk Bravo karena akan banyak pembelajaran yang dapat diambil jika kita mengikutinya. Ke depanya harapan Mas Aziz agar Bravo dapat melakukan riset dan penelitian. Voluntter hanya akan difokuskan hanya di skala yang besar seperti tingkat nasional. Melakukan Riset dan penelitian tentang isu disabilitas terkini juga agar dapat memberikan dan mengingatkan kembali kepada ornagisasi sosial penyandang disabilitas agar lebih peka terhadap disabilitas dan tidak hanya sekedar untuk pengurus akan tetapi ke berbagai aspek penyandang disabilitas. Selain itu dengan sudah dikenal di Indonesia. Bravo mengharapkan dapat mewakili Indonesia dengan komunitas sejenis pada tingkat Asia. Hingga saat ini masih proses untuk dapat mewujudkan apa yang diharapkan tersebut. Untuk soal berunding dengan berbagai elemen pemerintahan terkait masalah disabilitas sudah banyak pihak yang Bravo temui. Dari mulai Gubernur DKI, Ketua MPR RI,bahkan Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Akan tetapi dengan banyak berdisukusi dengan tokoh pemerintahan tidak menjadikan Bravo tinggi hati. Justru semakin banyak berdiskusi semakin banyak pelajaran yang akan mereka ambil juga membela hak-hak penyandang disabilitas tanpa perlu mereka tahu. Sebab menurut mas Aziz, Bravo bukanlah ajang show up akan tetapi komunitas ini menekankan pentingnya bersama untuk kemajuan bersama baik itu anggota,pengurus,bahkan penyandang disabilitas. Menurut pendapat salah satu anggota yang bernama Bery yang masuk mulai dari tahun 2010,ia mengungkapkan satu kata di Bravo “asik”. Memang karena selain punya banyak teman di Bravo banyak hal yang dipelajari tidak hanya sekedar Volunter. Bravo merupakan satu-satunya komunitas Volunter di Indonesia yang membantu para penyandang disabiltas dalam berbagai aspek salah satunya orientasi mobilitas. Waktu menunjukan pukul tiga sore, Angin yang semakin bertiup kencang dan suasana halaman mesjid yang semakin ramai. Sore itu wawancara telah selesai. Ada berbagai informasi yang aku dapat dari mas Aziz terkait komunitas Bravo ini. Bravo merupakan salah satu contoh komunitas di Jakarta yang berbeda. Perduli kepada mereka yang memiliki keterbatasan tanpa mengharapkan imbalan atau iming-iming uang. Kerja Ikhlas,itulah yang selalu ditanamkan Mas Aziz selaku koordinator umum kepada para anggotanya. Sehingga menurutku Komunitas ini adalah salah satu komunitas inspiratif yang ada di Jakarta. Semoga dapat menjadi isnpirasi bagi semua

Jumat, 11 Juli 2014

Wijayalabs.com, the green action

http://wijayalabs.com/2014/02/28/pelatihan-guru-ngeblog-gratis-di-smkn-27-jakarta/ Pelatihan Guru Ngeblog Gratis di SMKN 27 Jakarta Pustaka Pandani Komunitas Sejuta Guru Ngeblog akan mengadakan pelatihan ngeblog GRATIS untuk guru yang belum memiliki blog. Kegiatan ini merupakan kegiatan sosial yang dilakukan oleh komunitas sejuta guru ngeblog. blog Kegiatan akan dilaksanakan pada: Minggu, 23 Maret 2014 di SMKN 27 Pasar Baru Jakarta Pusat. Materi Membuat blog di WordPress, membuat konten kreatif, pernak-pernik blog, dan motivasi ngeblog dengan instruktur: Dedi Dwitagama Namin AB Yulef Dian Sukani Kegiatan dilaksanakan dari Pukul 08.00 sampai 16.00 wib (8 jam pelatihan), mohon peserta hadir tepat waktu dan sudah berada di SMKN 27 Jl Dr. Sutomo No. 1 Jakarta Pusat (lihat google map). Buat teman-teman yang serius ingin belajar ngeblog dapat menghubungi omjay di 08159155515.(Hanya utk 50 org guru). Jangan lupa membawa laptop dan kalau bisa dengan modemnya saat pelatihan ngeblog. Terima kasih. Sertifikat guru ngeblog Salam Blogger Persahabatan Omjay http://wijayalabs.com

Rabu, 09 Juli 2014

Makalah Pendidikan & Pembangunan (Layak Baca)

Posted by Harmoko on 05/26/2009 Posted in: Laskar Makalah. Tagged: PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN. 1 Komentar Ringkasan Makalah http://mocoe.wordpress.com/2009/05/26/pendidikan-dan-pembangunan/ Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis. Menurut John C. Bock, dalam Education and Development, A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai: memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan social, dan untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi. Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan. Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik. Melihat perkembangan pendidikan sekarang ini, menurut saya yang menjadi kendalah utama adalah kurang seriusnya pemerintah. Contoh kecilnya saja bisa kita lihat betapa besarnya perbedaan baik, sarana prasarana sekolah di perkotaan dan pedesaan. Bagaimana kita bisa mencapai pemertaan pendidikan yang sama, jika masalah seperti ini masih terabaikan, dan kita mengetahui bersama dampaknya sangat besar. Pendidikan haruslah menjadi sorotan penting bagi kita semua karena kemajuan dalam segala hal di lihat dari latar belakang pendidikan. BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia, yaitu tenaga terdidik yang mampu menjawab tantangan-tantangan yang sangat cepat. Kenyataan ini sudah lebih dari cukup untuk mendorong pakar dan praktisi pendidikan melakukan kajian sistematik untuk membenahi atau memperbaiki sistem pendidikan nasional. Agar lulusan sekolah mampu beradaptasi secara dinamis dengan perubahan dan tantangan itu, pemerintah melontarkan berbagai kebijakan tentang pendidikan yang memberikan ruang yang luas bagi sekolah dan masyarakatnya untuk menentukan program dan rencana pengembangan sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing. Pendidikan juga sangat berpengaruh dalam pembangunan, baik itu dalam pembangunan sumber daya manusia, ekonomi, sosial, dan bahkan masih lebih banyak lagi peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan Negara. 1. 2. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: a. Apakah peranan pendidikan dalam bidang pembangunan ekonomi? b. Bagaimanakah peranan pendidikan dalam membangun sumber daya manusia? c. Adakah pangaruhnya pendidikan dalam pembangunan sosial? d. Bagaimana esensi pendidikan dan pembangunan serta titik temunya? e. Apa saja yang di sumbangkan pendidikan pada pembangunan? f. Bagaimanakah Pembangunan Sistem Pendidikan Nasional? 1. 3. Tujuan Penulisan Makalah Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: a. Menjelaskan peranan pendidikan dalam bidang penbangunan ekonomi. b. Mendeskripsikan pendidikan dalam membangun sumber daya manusia. c. Mendeskripsikan pendidikan dan pengaruhnya dalam pembangunan sosial. d. Menjelaskan esensi pendidikan dan pembangunan serta titik temunya e. Menjabarkan Sumbangan Pendidikan Pada Pembangunan. f. Menjelaskan Pembangunan Sistem Pendidikan Nasional DAFTAR ISI Halaman Judul ……………………………………………………………………………….. Ringkasan Makalah ……………………………………………………………………. 1 BAB I Pendahuluan: • Kata Pengantar …………………………………………………… 2 • Rumusan Makalah ………………………………………………. 2 • Tujuan Penulisan Makalah ………………………………………. 3 Daftar Isi ……………………………………………………………… 4 BAB II Pembahasan: • Peranan Pendidikan Dalam Bidang Pembangunan Eknomi ….….. 5 • Peranan Pendidikan Dalam Membangun SDM …………………. 7 • Pendidikan Dan Pengaruhnya Dalalm Pembangunan Sosial ….… 9 • Esensi Pendidikan Dan Pembangunan Serta Titik Temunya ….… 12 • Sumbangan Pendidikan Pada Pembangunan …………………….. 12 • Pembanguanan Sistem Pendidikan Nasional ……….…….…….. 13 BAB III Kesimpulan ………………………………………………………….. 15 Daftar Pustaka ……………………………………………………….. 17 BAB II PEMBAHASAN 2. 1. Peranan Pendidikan Dalam Bidang Pembangunan Ekonomi. Pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian akademis dan penelitian empiris telah membuktikan keabsahannya. Pendidikan bukan hanya melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah. Ada tiga paradigma yang menegaskan bahwa pembangunan merujuk knowledge based economy tampak kian dominan: 1. kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. 3. Pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang. Untuk meningkatkan pendidikan, pemerintah melakukan upaya pembangunan pendidikan yang memiliki landasan komitmen internasional, sebagai visi bersama berbagai negara di dunia, melalui kesepakatan yang dikenal dengan kesepakatan Dakkar-Senegal tahun 2000. Kesepakatan Dakkar yang diimplementasikan dalam kesepahaman Education for All/EFA. Dakkar tersebut secara parsial telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Education for All, merupakan satu upaya untuk memadukan langkah serta penyamaan persepsi, dan bagian yang tidak terpisahkan dari komitmen global lainnya, yaitu Millenium Development Goals yang disepakati 189 negara anggota PBB. Kesepakatan tersebut menargetkan, pada tahun 2015 telah dilakukan upaya: 1. Menghilangkan angka kemiskinan absolut dan kelaparan. Targetnya adalah menurunkan hingga separuh jumlah orang yang hidup dengan penghasilan di bawah satu dolar per hari. Dan, menurunkan hingga separuh jumlah orang yang menderita kelaparan. 2. Memberlakukan pendidikan dasar yang universal. Orientasinya memastikan bahwa anak-anak laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar. 3. Mengembangkan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Orientasinya, menghilangkan perbedaan gender di tingkat pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005, dan pada semua tingkatan di tahun 2015. 4. Menurunkan angka kematian anak. Orientasinya, menurunkan hingga dua pertiga angka kematian anak di bawah usia lima tahun. 5. Memperbaiki kesehatan maternal. Orientasinya, menurunkan rasio kematian maternal hingga tiga perempat. 6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya. Orientasinya, pertama, menghentikan dan mulai memutarbalikkan percepatan penyebaran HIV/AIDS. Kedua, menghentikan dan mulai memutarbalikkan angka insiden malaria dan penyakit utama lainnya. 7. Menjamin kesinambungan lingkungan hidup. Orientasinya, pertama, mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan kepada kebijakan negara dan mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang. Kedua, menurunkan hingga separuh jumlah orang yang hidup tanpa akses yang berkesinambungan terhadap air minum yang aman. Ketiga, mendapatkan pencapaian yang signifikan dalam memperbaiki kondisi kehidupan dari sekurang-kurangnya 100 juta orang yang hidup di daerah kumuh, pada tahun 2020. 8. Membangun kemitraan global untuk pembangunan. Kesepakatan tersebut di orientasikan kepada: 1. Mengembangkan lebih jauh prinsip perdagangan terbuka dan sistem finansial yang berdasarkan pada hukum, dapat dimengerti dan tidak diskriminatif. Termasuk di dalamnya komitmen untuk pemerintahan yang baik, pembangunan dan penurunan kemiskinan, baik pada tingkat nasional maupun internasional. 2. Memberi perhatian pada kebutuhan khusus dari negara yang belum berkembang. Hal ini termasuk pemberlakuan tarif dan akses untuk mendapatkan pembebasan kuota bagi hasil ekspornya; meningkatkan upaya pembebasan utang bagi negara pengutang yang sangat miskin; pembatalan perjanjian utang bilateral; dan pemberian bantuan pembangunan bagi negara-negara yang berkomitmen untuk menurunkan angka kemiskinan. 3. Memberi perhatian khusus kepada negara berkembang yang terdiri dari kepulauan kecil dan negara yang terkurung oleh daratan. 4. Mengatasi secara komprehensif masalah utang negara-negara berkembang melalui upaya nasional dan internasional. 5. Melalui kerja sama dengan negara-negara berkembang secara kooperatif mengembangkan berbagai jenis pekerjaan yang produktif dan bermakna bagi kaum muda. 6. Melalui kerja sama dengan perusahaan farmasi, menyediakan akses terhadap ketersediaan obat-obatan esensial yang murah di negara-negara berkembang. 7. Melalui kerja sama dengan pihak swasta, menyediakan berbagai keuntungan teknologi baru khususnya teknologi informasi dan komunikasi. 2. 2. Peranan Pendidikan Dalam Membangun SDM. Pendidikan pada hakikatnya berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu, secara hakiki, pembangunan pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pembangunan manusia. Upaya-upaya pembangunan di bidang pendidikan, pada dasarnya diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia itu sendiri. Karena pendidikan merupakan hak setiap warga negara, di dalamnya terkandung makna bahwa pemberian layanan pendidikan kepada individu, masyarakat, dan warga negara adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Karena itu, manajemen sistem pembangunan pendidikan harus didesain dan dilaksanakan secara terpadu, serta diarahkan pada peningkatan akses pelayanan yang seluas-luasnya bagi warga masyarakat, dengan mengutamakan mutu, efektivitas dan efisiensi. Upaya pembangunan pendidikan yang dilakukan memiliki landasan komitmen internasional, sebagai visi bersama berbagai negara di dunia, melalui kesepakatan yang dikenal dengan kesepakatan Dakkar-Senegal tahun 2000. Kesepakatan Dakkar yang diimplementasikan dalam kesepahaman Education for All (EFA) meliputi enam komponen penting, yaitu: 1) pendidikan anak usia dini (PAUD) 2) pendidikan dasar 3) pendidikan keaksaraan 4) pendidikan kecakapan hidup (life skill) 5) kesetaraan dan keadilan gender 6) peningkatan mutu pendidikan. Secara khusus, dalam konteks peningkatan dan pemberdayaan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan komitmen education for all serta peningkatan kesejahteraan rakyat yang harus disadari, realitas perkembangan pendidikan dewasa ini, berimplikasi luas terhadap kehidupan masyarakat, baik yang terkait dengan masalah kehidupan sosial, budaya, politik maupun ekonomi. Dengan kata lain, kualitas pelayanan pendidikan yang rendah, rendahnya akses masyarakat terhadap pendidikan, buruknya manajemen sistem pendidikan akan menjadi bagian dari problema dalam menghadapi tantangan dan persaingan tersebut. Beberapa konsep peningkatan mutu pendidikan: 1. Suatu sistem pendidikan itu bermutu, apabila proses belajar mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. 2. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efesien perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan nasional sejak tingkat pusat, daerah sampai dengan satuan pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan. 3. Pada semua jenjang pendidikan, kebijaksanaan peningkatan mutu tetap harus menjadi sasaran prioritas utama. Berdasarkan suatu prespektif strategi peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan sekaligus yaitu: 1. pendekatan substansi pendidikan 2. pendidikan teknis pendidikan 3. pendekatan pengelolaan pendidikan. Dengan adanya 3 altenatif pendekatan untuk peningkatan mutu pendidikan, maka diharapkan didalam penerapan kebijakan otonomi daerah, akan dapat pula menghasilkan peningkatan mutu pendidikan di daerah. Tentunya hal ini sesuai dengan konsep penerapan otonomi pendidikan sebagimana yang telah ditetapkan melalui peraturan dan perundangan-perundangan yang ada. 2. 3. Pendidikan Dan Pengaruhnya Dalam Pembangunan Sosial. 1. Pembangunan Berwawasan Kependudukan. Secara sederhana pembangunan berwawasan kependudukan mengandung dua makna sekaligus, yaitu: a. Pembangunan berwawasan kependudukan Pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada, penduduk harus dijadikan titik sentral dalam proses pembangunan. Penduduk harus dijadikan subjek dan objek dalam pembangunan. Pembangunan adalah oleh penduduk dan untuk penduduk. b. Pembangunan berwawasan kependudukan Pembangunan sumberdaya manusia, pembangunan lebih menekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur semata-mata. Sebenarnya sudah lama didengung-dengungkan mengenai penduduk sebagai subjek dan objek pembangunan, mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, atau pembangunan bagi segenap rakyat. Sudah saatnya tujuan tersebut diimplementasikan dengan sungguh-sungguh jika tidak ingin mengalami krisis ekonomi yang lebih hebat lagi pada masa mendatang. Dengan demikian indicator keberhasilan ekonomi harus diubah dari sekedar GNP atau GNP perkapita menjadi aspek kesejahteraan atau memakai terminology UNDP adalah Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Kemiskinan Sosial (HPI) dan Indeks Pemberdayaan Gender (GEM), dan sejenisnya. Memang, mempergunakan strategi pembangunan berwawasan kependudukan untuk suatu pembangunan ekonomi akan memperlambat tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun, ada suatu jaminan bahwa perkembangan ekonomi yang dicapai akan lebih berkesinambungan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan membawanya pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang terlalu cepat akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tetapi sekaligus juga meningkatkan jumlah pengangguran dan setengah menganggur. Mengapa selama ini Indonesia mengabaikan pembangunan berwawasan kependudukan? Hal ini tidak lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang harus senantiasa tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pembangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogy pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional. Karena mengabaikan aspek pemerataan pembangunan akhirnya muncul keadaan instabilitas dan kesenjangan antar Golongan dan wilayah. 2. Dimensi Penduduk dalam Pembangunan Nasional. Ada beberapa alasan yang melandasi pemikiran bahwa penduduk merupakan isu yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional. Berbagai pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penduduk merupakan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan. Dapat dikemukakan bahwa penduduk adalah subjek dan objek pembangunan. Jadi, pembangunan baru dapat dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti luas yaitu kualitas fisik maupun non fisik yang melekat pada diri penduduk itu sendiri. 2. Keadaan penduduk yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai, akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan tingkat kualitas rendah, menjadikan penduduk tersebut hanya sebagai beban bagi pembangunan nasional. 3. Dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karenanya, seringkali peranan penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh, beberapa ahli kesehatan memperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang pada 25 tahun ke depan atau satu generasi. 3. Mengintegrasikan Kependudukan dalam Perencanaan Pembangunan. Dalam hal mengintegrasikan dimensi penduduk dalam perencanaan pembangunan daerah maka manfaat paling mendasar yang diperoleh adalah besarnya harapan bahwa penduduk yang ada di daerah tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil pembangunan. Itu berarti bahwa pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan dibandingkan dengan orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Dalam pembangunan berwawasan kepengufukan, ada suatu jaminan akan keberlangsungan proses pembangunan. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan pada pembangunan local, perencanaan berasal dari bawah (bottom up planning), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat local, dan yang lebih penting adalah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan. Sebaliknya, orientasi pembangunan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tetapi sekaligus juga meningkatkan jumlah pengangguran dan setengah menganggur, sebagaimana yang terlihat selama ini di Indonesia. Demikian pula dalam pertumbuhan ada yang dinamakan dengan limit to growth. Konsep ini mengacu pada kenyataan bahwa suatu pertumbuhan ada batasnya. Ada beberapa ciri kependudukan Indonesia pada masa depan yang harus dicermati dengan benar oleh para perencana pembangunan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Beberapa ciri penduduk pada masa depan adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan yang meningkat. 2. Peningkatan kesehatan. 3. Pergeseran usia. 4. Jumlah penduduk perkotaan semakin banyak. 5. Jumlah rumah tangga meningkat, struktur semakin kecil. 6. Peningkatan intensitas mobilitas. 7. Tingginya pertumbuhan angkatan kerja. 8. Perubahan lapangan kerja. 2. 4. Esensi Pendidikan Dan Pembangunan Serta Titik Temunya Status pendidikan dan pembangunan masing-masing dalam esensi pembangunan serta antara keduanya 1. Pendidikan merupakan usaha ke dalam diri manusia sedangkan pembangunan merupakan usaha keluar dalam diri manusia. 2. Pendidikan menghasilkan sumber daya tenaga yang menunjang pembangunan dan hasil pembangunan dapat menunjang pendidikan (pembinaan, penyediaan saran, dan seterusnya) 2. 5. Sumbangan Pendidikan Pada Pembangunan Kita tidak bisa memungkirinya bahwa sumbangn pendidikan pada pembangunan sangatlah besar, meskipun hasilnya tidak bisa kita lihat dengan segera. Tapi ada jarak penantian yang cukup lama antara proses dimulainya usaha dengan hasil yang ingin dicapai Sumbangan pendidikan terhadap pembangunan dapat dilihat dari berbagai segi, diantaranya, segi sasaran, lingkungan, jenjang pendidikan, dan pembidangan kerja. 1. Segi Sasaran Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar yang ditujukan kepada peserta didik agar menjadi manusia yang berkepribadian kuat dan utuh serta bermoral tinggi. Jadi tujuan citra manusia yang dapat menjadi sumber daya pembangunan yang manusiawi. 2. Segi Lingkungan Pendidikan Klasifikasi ini menunjukkan peran pendidikan dalam berbagai lingkungan atau sistem. Lingkungan keluarga(pendidikan informal), lingkungan sekolah (pendidikan formal), lingkungan masyarakat (pendidikan nonformal), ataupun dalam sistem pendidikan prajabatan dan dalam jabatan. 3. Segi Jenjang Pendidikan Jenjang pendidikan meliputi pendidikan dasar (basic education), pndidikan lanjutan, menengah, dan pendidikan tinggi. 4. Segi Pembidangan Kerja atau Sektor Kehidupan Pembidangan kerja menurut sektor kehidupan meliputi bidang ekonomi, hukum, sosial politik, keuangan, perhubungan, komunikasi, pertanian, pertambangan, pertahanan, dan l;ain-lain. 2. 6. Pembangunan Sistem Pendidikan Nasional Bagian ini akan mengemukakan dua hal yaitu mengapa sistem pendidikan harus dibangun dan wujud sisdiknas. 1. Mengapa Sistem Pendidikan Harus Dibangun Sistem pendidikan perlu dibangun agar dapat memenuhi kebutuhan manusia. Manusia cenderung berupaya untuk mendekatkan dirinya pada kesempurnaan, untuk itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan, termasuk sistem pendidikan. Selain itu, pengalaman manusia juga berkembang. Itulah sebabnya mengapa sistem pendidikan sebagai sarana yang menghantar manusia untuk menemukan jawaban atas teka teki mengenai dirinya, juga selalu disempurnakan. 2. Wujud Pembangunan Sistem Pendidikan Secara makro, sistem pendidikan meliputi banyak aspek yang satu sama lain saling terkait, yaitu aspek filosofis dan keilmuan, yuridis, struktur, dan kurikulum a. Hubungan Antar Aspek-aspek Aspek filosofis keilmuan dan yuridis menjadi landasan bagi aspek-aspek yang lain, karena memberikan arah pada aspek-aspek lainnya. Meskipun aspek filosofis menjadi landasan, tetapi tidak harus diartikan bahwa setiap terjadi perubahan filosofis dan yuridis harus diikuti dengan perubahan aspek-aspek yang lain secara total. b. Aspek Filosofis dan Keilmuan Aspek filosofis berupa penggarapan tujuan nasioanal pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan nasional yang etntunya memberikan peluang bagi pengembanga hakikat manusia yang kodrati yang berartipula bersifat wajar. Bagi kita pengembangan sifat kodrati manusia itu pararel dengan jiwa Pancasila. c. ¬¬Aspek Yuridis UUD 1945 sebagai landasan hukum pendidikan sifatnya relatif tetap. Beberapa pasal yang melandasi pendidikan sifatnya eksplisit (pasal 31 ayat (1) dan (2); pasal (32)) maupun yang implisit (pasal 27 ayat (1) dan (2); pasal (34)). Pasal pasal tersebut sifatnya masih sangat global dan perlu dijabarkan lebih rinci kedalam UU Pendidikan seperti UU Pendidikan No. 4 Tahun 1950, UU Pendidikan No. 12 Tahun 1954 dan disempurnakan lagi oleh UU RI No. 2 Tahun 1989. d. Aspek Struktur Aspek struktur pembangunan sistem pendidikan berperan pada upaya pembenahan struktur pembangunan pendidikan yang mencakup jenjang dan jenis pendidikan, lama waktu belajar dari jenjang yang satu ke jenjang yang lai, sebagai akibat dari perkembangan sosial budaya dan politik. e. Aspek Kurikulum Kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Tujuan kurikuler berubah, maka kurikulum berubah pula. Perubahan tersebut dapat berupa materinya, orientasinya,pendekatannya maupun metodenya. BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan  Pendidikan dalam bidang pembangunan ekonomi. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah. Ada tiga paradigma yang menegaskanbahwa pembangunan merujuk knowledge-based economy tampak kian dominan, yakni: 1. kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. 3. Pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang.  Peranan Pendidikan Dalam Membangun SDM. Upaya-upaya pembangunan di bidang pendidikan, pada dasarnya diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia itu sendiri. Karena pendidikan merupakan hak setiap warga negara, di dalamnya terkandung makna bahwa pemberian layanan pendidikan kepada individu, masyarakat, dan warga negara adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Karena itu, manajemen sistem pembangunan pendidikan harus didesain dan dilaksanakan secara terpadu, serta diarahkan pada peningkatan akses pelayanan yang seluas-luasnya bagi warga masyarakat, dengan mengutamakan mutu, efektivitas dan efisiensi.  Pendidikan Dan Pengaruhnya Dalam Pembangunan Sosial. a. Pembangunan Berwawasan Kependudukan b. Dimensi Penduduk dalam Pembangunan Nasional c. Mengintegrasikan Kependudukan dalam Perencanaan Pembangunan.  Esensi Pendidikan Dan Pembangunan Serta Titik Temunya 1) Pendidikan merupakan usaha ke dalam diri manusia sedangkan pembangunan merupakan usaha keluar dalam diri manusia. 2) Pendidikan menghasilkan sumber daya tenaga yang menunjang pembangunan dan hasil pembangunan dapat menunjang pendidikan (pembinaan, penyediaan saran, dan seterusnya)  Sumbangan Pendidikan Pada Pembangunan Sumbangan pendidikan terhadap pembangunan dapat dilihat dari berbagai segi, diantaranya, segi sasaran, lingkungan, jenjang pendidikan, dan pembidangan kerja. 1. Segi Sasaran Pendidikan 2. Segi Lingkungan Pendidikan 3. Segi Jenjang Pendidikan 4. Segi Pembidangan Kerja atau Sektor Kehidupan DAFTAR PUSTAKA Tirtarahadja, Umar dan Sulo La, S.L. 2005. Pengantar pendidikan. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

MEMBANGUN INSAN CERDAS MELALUI PERCEPATAN PEMBERANTASAN BUTA HURUF

MEMBANGUN INSAN CERDAS MELALUI PERCEPATAN PEMBERANTASAN BUTA AKSARA Sunday, 17 August 2008 http://www.bppaudnireg1.com/buletin/read.php?id=70&dir=1&idStatus=9 Membaca merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang maha luas. Membaca adalah jembatan untuk menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan sampai tercapai tatanan yang lebih baik dan sejahtera. MEMBANGUN INSAN CERDAS MELALUI PERCEPATAN PEMBERANTASAN BUTA AKSARA Oleh : Fauziah Rahmah Lubis Membaca merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang maha luas. Membaca adalah jembatan untuk menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan sampai tercapai tatanan yang lebih baik dan sejahtera. Membaca juga merupakan proses awal dalam sebuah perubahan menuju masyarakat bangsa yang maju dan madani. Dalam “EFA Global Monitoring Report, Literacy for Life (2006), UNESCO menyimpulkan terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan membaca dengan investasi dan kinerja seseorang. Membaca (keaksaraan) akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Laporan tersebut menilai bahwa masalah buta aksara merupakan masalah yang dimiliki oleh sebagian besar negara-negara dunia yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Kebutaaksaraan sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta ketidakberdayan suatu masyarakat. Hal ini sangat berkaitan dengan sejarah suatu bangsa dimana umumnya negara-negara miskin dan korban jajahan memiliki penduduk dengan tingkat buta aksara yang tinggi. Namun demikian, buta aksara sesungguhnya tidak hanya ada di negara-negara berkembang dan berpenduduk besar tetapi juga di negara-negara maju termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Bedanya, saat ini mereka sudah terbebas, sementara negara-negara bekas jajahan mereka masih menjadi penyandang buta aksara yang besar. Demikian pula dengan Amerika Serikat dimana tingkat buta aksara yang dialaminya dipengaruhi oleh dua masalah utama yaitu tingkat kelahiran dan komposisi etnis. Laporan Antara tanggal 2 Mei 2008, menyebutkan bahwa pada tahun 1990, tiga orang ahli dengan berbagai spesialisasi yaitu Amartya Sen, Mahbud ul Haq serta Gustav Ranis mengembangkan suatu ukuran komperatif. Ukuran ini mengadopsi tiga hal utama yang diyakini paling mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia, yaitu umur harapan hidup (life expectancy), tingkat melek aksara (literacy), kombinasi tingkat siswa yang mendaftar di sekolah dasar, menengah dan tinggi (gross enrollment ratio), serta tingkat kesejahteraan (product domestic bruto). Ukuran itu dinamakan Human Development Index (HDI). Dan Indonesia ditempatkan pada posisi 108 dari 177 negara. Sementara itu, tingginya tingkat buta aksara di Indonesia disebabkan oleh lima penyebab utama, yakni tingginya angka putus Sekolah Dasar (SD), beratnya kondisi geografis Indonesia, munculnya penyandang buta aksara baru, pengaruh faktor sosiologis masyarakat, serta kembalinya seseorang menjadi penderita buta aksara. Pemberantasan buta aksara merupakan pekerjaan yang tidak mudah, namun juga tidak mustahil uuntuk dilakukan. Upaya pemberantasan buta aksara saat ini dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Pengalaman pemerintah Indonesia sejak tahun 1970-an menunjukkan tingkat pemberantasan buta aksara tidak terlalu stabil, namun dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang semakin baik. Pada tahun 2006, penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang buta aksara menurun 8,07 persen atau 12.881.080 orang. Dari jumlah tersebut, 68,5 persennya adalah perempuan (Depdiknas, 2006). Penduduk Indonesia yang masih buta aksara umumnya berdomisili di pelosok pedesaan maupun di daerah-daerah terpencil. Pemerintah bertekad untuk menurunkannya hingga lima persen pada tahun 2009. Ini berarti pada tahun 2009 mendatang sekitar 7,5 juta pnduduk harus sudah melek aksara. Data BPS menunjukkan, setiap tahunnya pemerintah hanya mampu memberantas buta aksara antara 150.000-200.000 orang. Apabila tidak dilakukan suatu terobosan dalam pelaksanaan pemberantasan buta aksara, maka dibutuhkan sekitar 12,5 tahun untuk mencapai angka buta aksara 5 persen. Dengan target penurunan angka buta aksara menjadi 7,7 juta orang pada akhir tahun 2009 berarti tingkat pemberantasan buta aksara selama periode tahun 2007-2009 harus mencapai 13,4 persen per tahun. Suatu angka yang tidak kecil dan menuntut kerja keras semua pihak, baik dari birokrasi, dalam hal ini Depdiknas dan Dinas Pendidikan di Provinsi, kabupaten/kota serta mitra dari LSM. Masalah pendanaan bukan lagi kendala setelah pemerintah berkomitmen mengalokasikan dana yang cukup besar bagi pemberantasan buta aksara (PBA), misalnya tahun 2007 dalam APBD setiap daerah disiapkan Rp. 247,4 miliar. Persoalan justeru muncul pada ketersediaan sumber daya manusia (SDM) pelaksana di lapangan. Pemberantasan buta aksara di Indonesia memasuki babak baru. Seperti yang di kutip dari Antara News 2 Mei 2008, Ibu Negara RI Ani Bambang Yudhoyono, memimpikan pada suatu hari nanti semua rumah di Indonesia akan menjadi rumah pintar, dan setiap anak Indonesia menjadi pintar. "Indonesia menjadi negara paling makmur di dunia," kata Ibu Ani pada presentasi di Sidang UNESCO bertajuk "UNESCO Regional Conferences In Support of Global Literacy", yang berlangsung di Beijing, China, akhir Juli 2007. Dalam dialog dengan para ibu negara dari sembilan negara, yaitu Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam, Ibu Ani memperkenalkan tiga program yang berasal dari buah pemikirannya sendiri, yaitu Mobil Pintar, Motor Pintar, dan Rumah Pintar. Ketiga program ini sebenarnya telah digagas sejak tahun 2005 bekerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta dan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Pertimbangan yang paling mendasari gagasan ketiga program ini adalah sangat sulitnya masyarakat menjangkau perpustakaan. Dengan program Mobil dan Motor Pintar, masyarakat akan didatangi. Oleh karena itu, diharapkan program ini dapat meningkatkan minat baca masyarakat dan semakin mempercepat pemberantasan buta aksara. Pendirian Taman Bacan Masyarakat (TBM) merupakan sarana yang cukup efektif dalam upaya pemberantasan buta aksara. Taman Bacaan Masyarakat merupakan bagian dari perpustakaan yang secara umum dapat memberikan pelayanan kebutuhan membaca di kalangan masyarakat. Pendirian TBM dapat mempercepat pemberantasan buta aksara, juga dapat menciptakan masyarakat gemar membaca (socity reading). Dengan semakin tinggi intensitas membaca seseorang, akan semakin banyak informasi dan pengetahuan yang diserap. Dampaknya memperkuat basis kecakapan hidup dan kompetensi yang dimiliki seseorang yang berujung pada meningkatnya kualitas kerja. Selanjutnya kesuksesan pelaksanaan program pemberantasan buta aksara di berbagai pelosok tanah air diharapkan akan memperbaiki Human Developmen Indeks (HDI) yang saat ini berada di rating 108 dari 177 negara di dunia. Tapi di balik itu semua yang terpenting adalah lahirnya insan Indonesia yang cerdas, kreatif dan mandiri berkat membaca. Dan setelah itu tentu saja baru kita bisa dengan lantang mengatakan Bangkit Indnesia, Merdeka !!

UNIVERSITAS MERCU BUANA RAIH PRESTASI GREEN CAMPUS DALAM INDONESIA GREEN AWARDS 2014

UNIVERSITAS MERCU BUANA RAIH PRESTASI GREEN CAMPUS DALAM INDONESIA GREEN AWARDS 2014 (Updated: 03-07-2014 09:13 WIB) http://www.mercubuana.ac.id/990_3_UNIVERSITAS_MERCU_BUANA_RAIH_PRESTASI_GREEN_CAMPUS_DALAM_INDONESIA_GREEN_AWARDS_2014.html Universitas Mercu Buana kembali meraih kategori Green Campus dalam Indonesia Green Awards 2014 yang diadakan oleh The La Tofi School of CSR yang didukung oleh Kementerian Kehutanan RI dan Kementerian Perindustrian RI. Pada tahun 2012 lalu, Universitas Mercu Buana juga meraih kategori Green Campus. Acara penganugerahan tersebut diadakan di Ball Room Hotel Indonesia Kempinski, Jl. MH. Thamrin No. 1 Jakarta, Rabu (18/6/14). Universitas yang meraih kategori Green Campus selain UMB adalah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, STIE Perbanas Surabaya, Universitas Indonesia, Universitas Islam Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Padjajaran dan Universitas Surabaya. Dra. Yuli Harwani, MM (Direktur Sumberdaya UMB) menerima penghargaan yang diserahkan oleh Menteri Perindustrian RI, Bapak Mohamad S. Hidayat. Kategori Green Campus yang diraih oleh UMB atas adanya program penanaman 1000 pohon di area kampus, penghematan kertas dengan memaksimalkan komunikasi berbasis internet menggunakan e-mail. Anggota Tim penilai Indonesia Green Awards 2014 yaitu Prof. Surna Tjahja Djajadiningrat (Ketua Dewan Kehormatan PROPER KLH), La Tofi (Chairman The La Tofi School of CSR), Hadi Daryanto (Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan), Arryanto Sagala (Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian), Mohamad Hasan (Direktur Jenderal Sumberdaya Air Kementerian Pekerjaan Umum), Sudirman Saad (Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan), Rida Mulyana (Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM). Apresiasi tersebut juga sangat membanggakan karena kontribusi UMB terhadap lingkungan terus menerus ditingkatkan. (Biro Sekretariat Universitas & Hubungan Masyarakat / humas@mercubuana.ac.id)

P2M LITERASI POLITIK UNTUK PEMILIH MUDA

FIKOM UMB KERJASAMA DENGAN UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA DAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SELENGGARAKAN P2M LITERASI POLITIK UNTUK PEMILIH MUDA (Updated: 03-07-2014 09:11 WIB) http://www.mercubuana.ac.id/992_3_FIKOM_UMB_KERJASAMA_DENGAN_UNIVERSITAS_MULTIMEDIA_NUSANTARA_DAN_UNIVERSITAS_ISLAM_NEGERI_SELENGGARAKAN_P2M_LITERASI_POLITIK_UNTUK_PEMILIH_MUDA_.html Fakultas Ilmu Komunikasi UMB bekerjasama dengan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan Universitas Islam Negri (UIN) melaksanakan program pengabdian pada masyarakat dengan tema literasi politik untuk pemilih muda. Model kerjasama yang dilakukan adalah diawali dengan telah dilaksanakannya sosialisasi literasi politik bagi pemilih muda di kampus UMN, dengan narasumber dosen dari FIKOM UMB. Dilanjutkan dengan agenda P2M sosialisasi literasi politik bagi pemilih muda, bertempat di ruang UMB Tower 401-403, Kampus Menara Bhakti UMB Jakarta Barat, dengan menghadirkan 5 dosen UMN dan UIN. Mereka adalah Syarifa Amelia,S.Sos.M.Si, FX. Lilik Dwi Mardjianto,S.S.,M.A, Rony Agustino Siahaan,M.Si, Kartika Aryani Harijono,M.Ikom dan Ambang Priyonggo, 13/6/14. Sedangkan narasumber dosen dari UIN adalah Dr. Iding R. Hasan. Sementara dari UMB, hadir narasumber dosen yang meliputi Afdal Makuraga, MSi, Drs. A.Rachman, MM, MSi dan DR. Elly. Kegiatan sosialisasi ini membahas mengenai Pendidikan Demokrasi 2014. Mendukung program pemilu 2014 saatnya yang muda bicara pemilu, kampanye serta propaganda. Kegiatan tersebut diikuti 120 mahasiswa/i yang terbagi dalam 3 kelas. Setelah kegiatan sosialisasi selesai, acara dilanjutkan dengan pelaksanaan debat mahasiswa/i dari masing masing perwakilan kelas mengenai koalisi tanpa syarat / koalisi tanpa bagi-bagi kursi. Sekaligus membahas Debat Capres pertama yang berpengaruh pada elektabilitas calon presiden masing-masing. Debat ini terbagi dalam dua tim yaitu tim pro dan tim kontra. Penilaian yang dinilai juri adalah mengenai logika berpikir, ketepatan argumentasi cara penyampaian (ekspresi/artikulasi). Dewan juri dalam debat, terdiri dari 1 dosen UMB, 2 dosen UMN dan moderator debat oleh Dr. Iding R. Hasan dari UIN. Pada minggu berikutnya, kegiatan P2M akan dilaksanakan di kampus UIN. Kegiatan ini pada dasarnya untuk meliterasi pemilih pemula / pemilih muda agar bisa menggunakan logika ketika menjelang pemilu dan tidak hanya sekedar menggunakan perasaan maupun emosi. Pemilih pemula / muda diajak untuk menyadari betapa pentingnya suara mereka terhadap hasil pemilu karena dari 186 juta jumlah pemilih, 32 juta pemilih adalah pemilih pemula / muda. (Biro Sekretariat Universitas & Hubungan Masyarakat / humas@mercubuana.ac.id)

ULASAN DEA SALSABILA AMIRA TENTANG PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU MILENIUM 2015

ULASAN DEA SALSABIRA AMIRA (MHSW MANAJEMEN S1 FEB / GLOBAL YOUTH AMBASSADOR OF A WORLD AT SCHOOL UNITED NATION 2014) TENTANG PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU MILENIUM 2015 (Updated: 14-05-2014 08:31 WIB) http://www.mercubuana.ac.id/newsx.php?mode=b
aca&pct_no=964&l= Indonesia sebagai negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke, merupakan negara berkembang yang ditandai dengan pertumbuhan diberbagai aspek, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, komunikasi dan informasi. Pendidikan merupakan senjata dalam memajukan suatu bangsa, salah satu aspek penting dalam pendidikan saat ini adalah keaksaraan. Saat ini terdapat 57 juta anak anak di seluruh dunia yang tidak mendapatkan hak atas pendidikan dasar dan terdapat 2,5 juta anak Indonesia yang putus sekolah. Mayoritas penduduk Indonesia memang sudah melek aksara. Tetapi, menurut badan pusat statistik sebanyak 12,8 juta penduduk Indonesia masih buta aksara. Padahal tinggi rendahnya tingkat buta aksara suatu bangsa menunjukkan kualitas pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa tersebut. Keaksaraan saat ini menjadi hal yang penting, dimana tingkat melek aksara dijadikan sebagai salah satu faktor dari variabel pendidikan yang dipakai untuk menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu negara. Menurut laporan UNESCO tahun 2006, masalah buta aksara telah menjadi persoalan yang terjadi hampir di semua negara atau di 203 negara yang dilaporkan oleh UNESCO. Pria Gunawan, Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan hingga kini sebanyak 3,6 juta warga Indonesia masih buta aksara. Provinsi yang memiliki warga buta aksara paling banyak adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebanyak 16,48%, Nusa Tenggara Timur 10,13%, Sulawesi Barat 10,33%, Papua 36,31%. Sedangkan Provinsi Jawa Timur jumlah warga yang buta aksara sebesar 7,87%. Persentase rata-rata nasional ketunaksaraan usia 15-59 tahun secara nasional berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010 mencapai 5,02% dari jumlah penduduk di Indonesia yakni sebanyak 7,5 juta jiwa. Masih tingginya angka buta aksara di Indonesia karena pemerataan keaksaraan di masing-masing daerah tidak sama. Diharapkan semua pihak ikut berpartisipasi untuk menyukseskan pendidikan keaksaraan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah buta aksara telah menjadi masalah global yang sampai saat ini masih belum sepenuhnya tuntas. Oleh karena itu, buta aksara harus diberantas untuk mencerdaskan sekaligus mensejahterakan rakyat. Buta aksara adalah masalah yang sangat serius karena jika seseorang tidak berkemampuan untuk membaca dan menulis akan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. UUD 1945 mengamanatkan kepada semua warga negara untuk memberantas buta aksara sesuai dengan tujuan Negara yang tertuang didalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga terdapat pada BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN pasal 31 ayat 1 yang berbunyi Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Secara nasional program pemberantasan buta aksara telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 60-an. Upaya tersebut antara lain Pemberantasan Buta Huruf (PBH), program kejar paket-A dan paket OBAMA (Operasi Bhakti ABRI Manunggal Aksara), fungsional (KF) dan lainnya. Namun upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (CALISTUNG) bagi masyarakat buta aksara tersebut belum sepenuhnya efektif. Hambatannya antara lain adalah kurangnya motivasi masyarakat buta aksara. Hal ini dapat dilihat dari kurang bersemangatnya masyarakat ketika mengikuti program yang berkaitan dengan pemberantasan buta aksara. Selain itu metode dan media pembelajaran yang kurang menarik serta kurang tepat. Mengingat warga buta aksara kebanyakan berusia dewasa. Upaya tersebut perlu didukung dengan media pembelajaran yang dapat menarik minat serta memudahkan masyarakat buta aksara untuk belajar CALISTUNG. Program keaksaraan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah buta aksara, dimana program ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang buta aksara. Ditinjau dari latar belakang ekonomi, warga belajar program KF berasal dari kelompok miskin dan marjinal, dan secara geografis mereka berasal dari daerah terpencil atau masyarakat pinggiran seperti pedesaan. Pada umumnya warga belajar yang buta aksara dan mengikuti program keaksaraan fungsional terdiri dari dua karakteristik, yaitu yang berasal dari buta aksara murni (sama sekali tidak dapat membaca, menulis dan menghitung) dan mereka yang di DO (Drop Out) dari Sekolah Dasar (setara SD/MI) kelas 1-3. Mereka sebagian besar bisa mengenal aksara namun tidak bisa mengaplikasikannya kedalam sebuah kalimat sederhana, mereka inilah yang memerlukan layanan pendidikan keaksaraan. Menurut wikipedia (2007), Buta huruf merupakan ketidakmampuan seseorang dalam mengenali huruf (membaca) dan angka (menghitung) serta membaca kalimat sederhana. Masyarakat yang buta aksara adalah masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan untuk membaca aksara Latin dan angka Arab, buta bahasa Indonesia dan pendidikan dasar. (Kusnadi:2006). Kriteria penduduk yang buta aksara terdiri dari buta aksara murni, yakni penduduk yang tidak bisa membaca sama sekali. Penduduk yang mengenal huruf, tetapi tidak bisa merangkainya menjadi sebuah kalimat dan yang terakhir adalah penduduk yang sudah bisa membaca kalimat sederhana, tetapi tidak dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua pihak harus ikut berpartisipasi. akademisi harus berperan aktif untuk memberantas masalah buta aksara ini, pemerintah Indonesia baik pusat maupun daerah sedang bekerja keras untuk mencapai target tujuan pendidikan milenium yang telah ditetapkan oleh PBB, target pendidikan milenium PBB adalah memastikan pada tahun 2015 semua anak anak, baik laki laki maupun perempuan bisa menyelesaikan pendidikan dasar secara penuh di tiap negara dengan sejumlah indikator. Indikator itu adalah tingkat partisipasi pendidikan dasar, proporsi kelulusan, dan angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Jika kita lihat fakta yang ada saat ini di Indonesia, target pendidikan milenium 2015 masih belum di garap secara matang, di wilayah papua saja terdapat 900.000 orang yang buta huruf dan 80% nya adalah penduduk di usia produktif. Menurut data yang dilansir oleh Sekretaris Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran di Papua, Protasius Lobya, rata rata jenjang sekolah yang dijalani masyarakat Papua hanya mencapai kelas 1 SMP saja. Pemerintah telah melakukan upaya pemberantasan buta aksara sejak tahun 60-an. Kegiatan tersebut menekankan pada peningkatan kemampuan membaca, menulis dan berhitung masyarakat buta aksara. Untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat buta aksara yang multi level (mempunyai beragam kemampuan keaksaraan) tentunya membutuhkan media pembelajaran. Para pengajar pada umumnya kesulitan untuk menyampaikan materi karena usia peserta didik yang sudah dewasa. Maka dari itu dibutuhkan media pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Identifikasi masalah usia masyarakat yang buta aksara pada umumnya adalah usia dewasa. Sehingga diperlukan konsep yang tepat bagi media pembelajaran masyarakat buta aksara yang berusia dewasa. Adanya kesulitan pengajar dalam menyampaikan materi. Metode dan media pembelajaran yang sudah ada kurang menarik dan kurang efektif. Media pembelajaran yang ada hanya bersifat satu arah dan kurang memberikan peran peserta didik dalam proses pembelajarannya Sekali kau belajar membaca, selamanya kau akan merdeka, kata-kata itu diucapkan oleh Frederick Douglass selaku pejuang penghapusan perbudakan (abolisionisme) di Amerika Serikat. Douglass mengakui, kemampuan membaca telah mengantarkannya berhasil keluar dari perbudakan. Negeri kita, Indonesia, juga pernah mengalami penjajahan selama ratusan tahun. Kartini menggambarkan masyarakat terjajah ini tidak ubahnya hutan rimba yang gelap gulita. Tetapi Kartini tidak pasrah dengan keadaan gelap-gulita itu. Ia sangat menyadari, bahwa keadaan gelap-gulita itu bisa diterangi dengan obor pengetahuan dan pencerahan. Karena itu, ia selalu berusaha untuk memajukan pengajaran bagi kaum pribumi. Semangat Kartini sangat gampang ditemui di setiap ruas pemikiran para pejuang kemerdekaan Indonesia. Makanya, tidaklah mengherankan bila salah satu tujuan nasional Kemerdekaan Indonesia. Maka saat Proklamasi Kemerdekaan baru usai dikumandangkan, pemerintahan Soekarno tidak hanya menyerukan mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda, tetapi juga memerintahkan menenteng pena dan buku untuk memberantas buta-huruf di kalangan rakyat Indonesia. Dimulai pada tanggal 14 Maret 1948, Bung Karno meluncurkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Padahal, saat itu Indonesia masih berjibaku dalam perang melawan kolonialisme Belanda. Mengenai hal itu, Bung Karno mengatakan: bukan saja kita menang di medan peperangan, tetapi juga di dalam hal memberantas buta-huruf kita telah mencapai hasil jang sangat menjugemaken dan itu adalah pula salah satu great achievement. Oleh karena itu Dea S. Amira (mahasiswa Manajemen FEB UMB) bersama seluruh perwakilan dari 100 negara lain di dunia, berjuang untuk bisa membantu perwujudan dari target pendidikan milenium 2015 dan pendidikan dasar yang berkelanjutan dengan memberikan kualitas pendidikan dasar yang layak bagi anak anak di dunia terutama di negara Indonesia. Sebagai Duta dari Indonesia untuk Global Youth Ambassador of A world at School UN, yang baru saja diresmikan pada tanggal 1 April 2014 oleh Sekretaris Jenderal PBB, Mr. Bank Ki Moon dan utusan khusus PBB untuk pendidikan global, Mr. Gordon Brown. Sebelum terpilih menjadi Global Youth Ambassador, Dea S. Amira memiliki sebuah pergerakan sosial yang diberi nama Uniting As One, berdiri pada bulan Mei 2013. Pergerakan ini dikhususkan untuk membantu anak anak yang kekurangan di Indonesia, seperti anak jalanan, anak difable dan anak anak penderita kanker. Namun fokus utama kami adalah membantu menyelesaikan permasalahan pendidikan dasar anak jalanan. Sejauh ini pergerakan sosial tersebut telah membantu anak anak jalanan di 3 kota yaitu Jakarta, Denpasar dan Surabaya. Dengan mengajar akan banyak mendapatkan modal sebagai bekal soft skills, saat masuk ke dunia kerja dan setelah terpilih menjadi Global Youth Ambassador, makin meyakinkan Dea S. Amira bisa berjuang untuk pendidikan anak anak jalanan di Indonesia dan membantu mengurangi angka buta huruf bagi anak anak Indonesia di wilayah terpencil dengan cara memberikan pendidikan yang layak melalui pengajaran tentang dasar membaca, menulis dan menghitung matematika. Impian Dea A. Amira adalah melihat fasilitas serta infrastruktur sekolah yang apik di tiap wilayah terpencil di negeri ini, serta pendidikan yang merata bagi seluruh anak bangsa. Keyakinannya jika para pemuda dan seluruh masyarakat bahu membahu membantu pendidikan di negeri ini, serta memastikan bahwa pendidikan dasar untuk anak anak adalah Hak Mutlak, yang harus diperoleh oleh tiap warga negara, maka bersama sama kita bisa membantu mewujudkan target pendidikan milenium 2015. Sekaligus mewujudkan generasi Emas Indonesia pada tahun 2030. Menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang maju karena pemuda pemudanya yang berkualitas. Jadi, kenapa tidak membuat hal ini menjadi kenyataan? ACTION BEGINS NOW, Join A World at School in campaign www.aworldatschool.org dan my movement campaign www.uaomovement.org or contact dea@uaomovement.org. (Biro Sekretariat Universitas & Humas / www.mercubuana.ac.id / humas@mercubuana.ac.id)

NASIONALISME & BUTA HURUF

14/09/2012 NASIONALISME DAN BUTA HURUF http://radiobuku.com/tag/buta-huruf/ Oleh: Muhidin M Dahlan Buta huruf itu aib. Ibu Negara Perancis Carla Bruni-Sarkozy juga sadar betul dengan itu. Dalam wawancara dengan harian La Tribune pada 2009 silam Bruni pernah meradang dengan rilis data terbaru yang menyebutkan tiga juta warga Perancis buta huruf. Pada saat yang sama Direktorat Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional (sekarang: Depdikbud) mengeluarkan data total jumlah warga buta aksara 9,7 juta atau 5,97 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Carla berang. Ia pun mendirikan yayasan untuk menggalang dana, terutama sekali gelandangan, napi, dan kelompok masyarakat buta huruf. Istri Presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengistilahkan tindakannya sebagai perang melawan buta huruf Jauh sebelum Carla marah-marah, kamus nasionalisme sudah menegaskan bahwa bagi negara berstatus merdeka buta huruf adalah aib. A Surjadi dalam buku Pembangunan Masyarakat Desa (1969) membuat pola pemberantasan buta huruf dari beberapa negara yang baru saja umumkan maklumat kemerdekaan. Simaklah kaum Komunis di Rusia sewaktu menumbangkan rezim Tsar pada 1917. Dalam dua tahun Lenin bikin perintah untuk menghilangkan kebutahurufan. Turki memulai kampanye pemberantasan butahuruf segera setelah Kemal Attaturk menjadi presiden. Perkembangan yang cepat dalam kerja pemberantasan buta huruf di India merupakan akibat langsung daripada pembentukan kekuasaan Kongres. Di Indonesia dan Ghana demikian juga. Pemberantasan buta huruf dilakukan setelah kemerdekaan nasional dimaklumatkan. Bagi pemerintah yang dipimpin kalangan nasionalis terpelajar dan revolusioner, buta huruf adalah aral yang merintangi kemajuan. Kata Lenin, “Seorang manusia buta huruf adalah di luar dunia politik.” Dan ajaran minimum adalah mengetahui abjad alfabet. Pemerintah nasionalis beranggapan orang-orang yang melek huruf hanyalah satu-satunya dasar yang sehat untuk membangun masa depan bangsanya. Sikap kaum nasionalis pada masalah buta huruf dimiliki pula ratusan orang-orang di pelbagai negara yang baru merdeka. Dengan usahanya jumlah orang-orang buta huruf yang berduyun-duyun untuk belajar makin bertambah, dan banyak orang-orang yang pandai baca tulis dikerahkan untuk mengajar sukarela. Semangat yang tumbuh dari gerakan kemerdekaan nasional berbarengan dengan gerakan pemberantasan buta huruf. Tanpa itu diragukan apakah kampanye pemberantasan buta huruf akan berhasil cepat. Dengan rangsangan-rangsangan usaha tersebut banyak juga yang tak mempergunakan kesempatan tersebut untuk belajar. Sebagian menganggap tak ada kegunaan belajar membaca. Yang lainnya lagi karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan sehari-harinya. Hukuman Penyandang Buta Huruf Sadar bahwa buta huruf menghambat kemajuan, maka disiapkan serangkaian hukuman bagi warga yang buta huruf atau tak mampu memperbaiki kualitas keberaksaraannya. Di Rusia, penolakan untuk ikut kursus pemberantasan buta huruf diancam hukum denda, kerja paksa, kehilangan kartu makanan, atau dikeluarkan dari persatuan dagang. Hukuman Tiongkok yang menolak program berantas buta huruf dikenai pajak yang diatur oleh Undang-Undang. Di Turki pemerintah mengumumkan bahwa lapangan kerja di pemerintah hanya tersedia bagi orang-orang yang dapat membaca dan menulis. Tidak bagi yang buta huruf. Sementara untuk kasus Indonesia bisa kita kutipkan Mass Education Handbook, “Pada kenyataannya kepentingan negara menuntut setiap warga negara memiliki kemampuan membaca dan menulis.” Karena itu dicoba jalan memaksa orang menjadi melek huruf dengan jalan perintah-perintah atau pengumuman. Bahwa setiap formulir diisi langsung oleh orang yang bersangkutan, dan memerintahkan setiap rumah dan tempat memakai papan nama. Dalam satu kecamatan di Jawa, misalnya, lulus dari ujian pemberantasan buta huruf merupakan salah satu syarat untuk memperoleh izin nikah. Pada masa pemerintahan Sukarno yg masih labil, penanggulangan tuna pendidikan waktu itu dikenal dgn pemberantasan buta huruf (PBH) atau kursus ABC. Bagian yang menangani buta huruf adalah Bagian Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK). Pada 1951, misalnya, disusun program Sepuluh Tahun Pemberantasan Buta Huruf dengan harapan semua penduduk Indonesia akan melek huruf dalam jangka waktu sepuluh tahun berikutnya. Namun, pada 1960, masih terdapat sekitar 40% orang dewasa yang buta huruf. Tahun 1960 dikeluarkan Komando Presiden Sukarno untuk tuntaskan buta huruf sampai tahun 1964. Hasilnya, 31 Desember 1964 penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf. (Ali, 2007) Di masa awal Orde Baru, Pembangunan Jangka Panjang Panjang Tahap I (PJP I) tahun 1969, buta huruf sudah menjadi titik sorot. Program seperti Program Paket ABC distimulasi untuk melawan aib buta huruf. Rupanya, usaha semesta itu tak pernah berakhir, sebagaimana di Perancis. Aib itu di tahun 2011 masih bertengger di angka 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen dari jumlah penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun. Dipublikasikan pertama kali Koran Tempo, 12 September 2012, “Pendapat”, hlm A

ANAK TKI DI PERKEBUNAN MALAYSIA

28/07/2012 SOEPENO BEBASKAN 50 RIBU ANAK TKI DARI BUTA HURUF http://radiobuku.com/tag/buta-huruf/ Jakarta Dengan nada optimis, Soepeno Sahid memulai cerita ketika menginjakkan kaki pertama kali di Sabah, Malaysia. Menjabat sebagai Konsul Jenderal sejak 2010 lalu, permasalahan menumpuk di kantornya terutama anak-anak TKI. ” Ada 400 ribuan TKI di sini. 50 ribu anak-anak mereka itu buta huruf semua,” kata Soepeno kepada detikcom di kantor KJRI Sabah, Lorong Kemajuan, Karamunsing, Kota Kinabalu Sabah, Malaysia, Jumat (27/7/2012). Pada awal dia menginjakan di perkebunan-perkebunan sawit, banyak anak-anak TKI ini sudah memakai HP. Namun saat mengisi surat keterangan mereka tidak bisa mengisinya. “Dari situ saya tahu mereka buta huruf,” ujar pria yang pernah bertugas di Papua New Guinea pada era 90-an ini. Mendapati realitas ini, dia lalu menggeber Konsulat Jenderal RI (KJRI) untuk membuat program mengajar bagi anak-anak Indonesia tersebut. Namun kendala muncul yaitu perizinan lembaga sekolah dari pemerintah Malaysia. “Kita tidak bisa asal mendirikan sekolah, ini negara orang,” kisah Soepeno. Lantas dia mulai menyusun strategi yaitu yang pertama dilakukan adalah mendatangi para pemilik perusahaan kelapa sawit. Soepeno lalu melobi perusahaan kelapa sawit ini untuk mengalokasikan dana Coorporate Social Responsibility (SCR) untuk dikucurkan bagi pendidikan anak-anak TKI ini. Langkah selanjutnya yaitu mempersiapkan sarana belajar, buku guru dan insentif guru. Karena alasan mendesak dan darurat, untuk guru cukup lulusan SMA sudah diperkenankan mengajar. “Asalkan bisa mengajar 3M yaitu membaca, menghitung dan menulis, silahkan mengajar. Mereka umumnya relawan dari TKI yang bekerja di sini,” bebernya. Selanjutnya dilakukanlah berbagai lobi antar pejabat kedua negara. Sehingga Kerajaan Malaysia mengizinkan lembaga Learning Center (LC) di berbagai penjuru Sabah. Momentum ini langsung bersambut dengan mendirikan LC hingga lebih dari 100 kelompok LC tetapi Pemerintah Malaysia baru meloloskan 6 LC. Diharapkan dengan adanya LC ini, ribuan anak-anak buta huruf bisa melek dan menjadi warga negara Indonesia yang baik. “Kalau untuk TKI, dari 400 ribu an orang, 90 persen bekerja di ladang sawit. Sisanya di bekerja di bagian konstruksi, manufacture, kilang/pabrik, jasa dan PRT,” kata Soepeno. (asp/ahy) *) detik, 28 Juli 2012 20/01/2011 DPR KECEWA TRAGEDI NOL BUKU DI INDONESIA BOGOR – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR RI prihatin dan kecewa terhadap Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang hingga saat ini belum memiliki blue print (cetak biru) pengembangan perpustakaan nasional. Mengingat saat ini, dalam hal membaca, Indonesia ada di peringkat 57 dari 65 negara di dunia, atau orang Indonesia dalam setahun hanya mampu membaca 27 halaman, atau terjadi tragedi nol buku di Indonesia. “Kami sangat prihatin sampai hari ini, PNRI belum memiliki blue print untuk mengembangkan perpustakaan tanah air, padahal blue print ini memiliki peran yang sangat penting untuk memajukan bangsa kita. Adanya cetak biru itu, diharapkan menjadi solusi untuk upaya meningkatkan budaya membaca masyarakat, sekaligus memajukan peradaban bangsa,” kata Rohmani dari FPKS, sebagaimana dalam siaran persnya yang diterima via surat elektronika, Kamis (20/1/2011). Dalam siaran pers itu disebutkan, pernyataan keprihatian FPKS itu dinyatakannya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X dengan pejabat PNRI di Gedung DPR RI pada Rabu lalu. Dijelaskannya, berdasarkan penilaian internasional yaitu Programme for International Student Assessment (PISA) Tahun 2009, dalam hal membaca, Indonesia berada diperingkat 57 dari 65 negara di dunia, di bawah Thailand (50) dan jauh dibawah Jepang (8). “Kami sedih, ternyata masyarakat kita rendah sekali minat membacanya. Dalam 365 hari rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca 27 halaman. Atau, untuk membaca 1 halaman, masyarakat kita memerlukan waktu 2 pekan. Coba bandingkan dengan Jepang yang siswanya membaca 15 buku dalam 1 tahun. Inilah yang disebut tragedi nol buku,” tambah Rohmani. Rohmani juga menyesalkan tidak adanya langkah nyata dari PNRI. Laporan yang disampaikan pejabat PNRI dalam RDP tersebut masih normatif. Belum menunjukkan substansi dari masalah yang dihadapi. Hal ini karena PNRI belum memiliki cetak biru pembangunan perpustakaan nasional. “Saya melihat laporan ini bukan cerminan persoalan kita sekarang. Ada persoalan yang jauh lebih besar yaitu persoalan minat baca bangsa kita. Membangun perpustakaan harus seiring dengan upaya untuk membangkitkan minat baca. Jangan sampai perpustakaan hanya menjadi gudang buku karena ada yang mau berkunjung dan membaca buku di sana,” tukas Rohmani. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, Komisi X DPR RI mensepakati dibentuk Panitia Kerja (Panja) tentang perpustakaan dan minat baca. Panja ini akan bekerja untuk merumuskan cetak biru perpustakaan yang akan menjadi panduan dan grand strategy pembangunan perpustakaan nasional dan budaya membaca. Panja ini nantinya akan melibatkan beberapa departemen yang terkait dengan perpustakaan nasional. “Karena ini sangat penting untuk kepentingan bangsa, maka harus melibatkan departemen terkait. Seperti pendidikan nasional, pariwisata dan kebudayaan serta pemuda dan olah raga. Persoalan perpustakaan bukan hanya masalah infrastruktur atau pengadaan buku semata. Dan, yang jauh lebih penting adalah bagaimana meningkatkan minat bangsa ini,” kata Rohmani. Disamping itu ia juga menekankan agar pejabat PNRI memperhatikan daya serap anggaran yang masih lemah. Anggaran Rp 443 miliar itu masih tergolong kecil untuk persoalan sebesar itu. “Sayangnya, anggaran sekecil itu pun tidak terserap,” tegas Rohmani. Sumber: Portal Online Kompas, 20 Januari 2011

LITERASI MEMENANGI KEHIDUPAN

23/11/2010 LITERASI MEMENANGI KEHIDUPAN Sumber: Istimewa Sumber: Istimewa Oleh H Witdarmono http://radiobuku.com/tag/buta-huruf/ Awal abad XX ditandai oleh perang Rusia melawan Jepang (1904-1905). Rusia kalah pada pertempuran laut di Selat Tsushima 27-28 Mei 1905. Geoffrey Jukes, penulis The Russo-Japanese War 1904-1905, mengatakan, penentu hasil perang itu bukanlah teknologi, tetapi tingkat literasi. Hanya 20 persen personel militer Rusia bisa ”membaca dan menulis”. Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern (saat itu) dan sistem telegraf nirkabel yang diimpor dari Jerman. Serangan Rusia sering salah sasaran karena salah membaca peta dan salah mengoperasikan jaringan komunikasi. Sebaliknya, hampir semua tentara Jepang tahu ”membaca dan menulis”. Mereka mahir menggunakan persenjataan militer modern dan memanfaatkan infrastruktur intelijen militer secara benar. Jepang bahkan sudah memodifikasi sistem telegraf nirkabel dari Jerman. Perang kerajaan Spanyol dan Inggris yang berakhir di Pantai Gravelines, Perancis, Agustus 1588, dimenangi oleh armada Inggris. Dalam bukunya, The Achieving Society (1961), David McClelland menulis, Inggris menang karena memiliki need for achievement (kebutuhan meraih keberhasilan) lebih tinggi daripada armada Spanyol. Salah satu penentu n-achievement (n-Ach) adalah corak sastra rakyat. Saat tingkat perekonomian Spanyol dan Inggris berada di puncak (tahun 1560-an), corak sastra rakyat Inggris tetap penuh kisah petualangan dan perjuangan. Namun, sastra rakyat Spanyol bergelimang kisah kemewahan dan hiburan. McClelland menyimpulkan, kisah perjuangan dan petualangan lebih mengembangkan tingkat n-Ach rakyat (McClelland, 1961, 1965). Literasi Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Pengertian itu berkembang menjadi konsep literasi fungsional, yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup. Kemampuan tentara Jepang memahami handbook peralatan perang, membaca peta, mendalami strategi, dan memodifikasi sistem telegraf nirkabel adalah gambaran literasi fungsional. Konsep maupun praksis literasi fungsional baru dikembangkan pada dasawarsa 1960-an (Sofia Valdivielso Gomez, 2008). Literasi dipahami sebagai ”seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh di atas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah” (A Campbell, I Kirsch, A Kolstad, 1992). Melalui pemahaman ini, literasi tidak hanya membaca dan menulis, tetapi juga mencakup bidang lain, seperti matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy). Ekologi media Meminjam terminologi Neil Postman, ekologi media di Inggris abad XVI menjadi faktor penentu tingginya tingkat n-Ach rakyat negeri itu. Postman menggambarkan ekologi media sebagai lingkungan informasi, yang mengarahkan munculnya berbagai jenis gagasan, sikap sosial, serta kemampuan intelektual tertentu (Postman, 1979). Seberapa jauh pengaruh interaksi manusia dengan media untuk menunjang hidupnya? Menurut Postman, sistem pesan yang kompleks dari media ikut menentukan cara berpikir, perasaan, serta tingkah laku manusia (Postman, ”Reformed”, 1970). Dari pemikiran ini, tingkat n-Ach tinggi dari masyarakat Inggris abad XVI merupakan hasil dari ekologi media yang dibangun oleh sastra rakyat waktu itu. Penelitian McClelland memperlihatkan bahwa diperlukan minimal 20 tahun untuk menggulirkan udara pesan perjuangan sehingga masyarakat menghirupnya (bdk McClelland, 101-102). Artinya, corak bacaan rakyat— atau ekologi media—baru berdampak 20 tahun kemudian. Literasi Indonesia Bagaimana dengan Indonesia? Dua alat ukur internasional, Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) maupun Programme for International Student Assessment (PISA) memperlihatkan tingkat literasi anak-anak Indonesia usia 9-15 tahun sangat rendah. PIRLS 2001 dan PIRLS 2006 mencatat bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada di peringkat lima terbawah. Tiga penelitian terakhir dari PISA (2000, 2003, 2006) menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Indonesia usia 15 tahun—usia akhir wajib belajar 9 tahun—dalam tiga macam literasi, yaitu kemampuan membaca (reading literacy), kemampuan menerapkan matematika untuk kehidupan praktis (mathematical literacy), serta kemampuan memakai sains dalam keterampilan hidup sehari-hari (scientific literacy), berada pada level 1. Ini berarti, anak-anak itu baru mampu menangkap satu dua tema dari sebuah bacaan dan belum bisa memakai teks bacaan untuk kepentingan yang lebih dalam, mengembangkan pengetahuan atau mengasah keterampilan. Literasi Malaysia Dalam 100 universitas terbaik di Asia 2010, Universitas Indonesia menduduki peringkat ke-50 dan Universitas Gadjah Mada ke-85. Namun, kita kalah dari Malaysia yang menempatkan lima universitas, yaitu Universiti Malaya (42), Universiti Kebangsaan Malaysia (58), Universiti Sains Malaysia (69), Universiti Putra Malaysia (77), dan Universiti Teknologi Malaysia (82). Kualitas universitas di Malaysia sangat terkait dengan program Pemerintah Malaysia sejak 1996, yaitu bahwa tahun 2020 semua warga Malaysia sudah melek informasi (information literate) dan telah memiliki sarana lengkap untuk menjadi pekerja bermodal pengetahuan (knowledge workers). Didirikanlah perpustakaan dan pusat informasi publik di sekolah dan tempat umum. Para guru dan murid sekolah mendapat prioritas utama agar melek informasi, tahap lanjut dari reading literacy. Mereka dilatih mengakses, memanfaatkan, dan mengembangkan informasi dari buku, kamus, ensiklopedia, atau internet agar kreatif dan inovatif. Demi bonum commune masyarakat Malaysia, ekologi media dikelola dengan regulasi yang transparan (MAM Sani, IL Twombly, R Omar, 2005). Dampaknya, energi kreativitas media tidak dihabiskan untuk hiburan dan kisah kemewahan, tetapi lebih untuk bonum commune nasional. Salah satu hasilnya adalah seri TV Upin&Ipin (2007), produk ekologi media yang ikut mengatur pola pikir dan cara bersikap anak-anak Indonesia. Indonesia akan sulit memenangi perang melalui literasi tanpa meninjau ulang paradigma pengembangan literasi sistem pendidikannya. Yang tidak kalah penting adalah mengelola kembali ekologi media dengan ukuran bonum commune masyarakat Indonesia yang harus maju. Pencemaran polusi media, khususnya isi entertainment yang mengacaukan jati diri dan nalar, patut ditangani segera dengan kode etik dan etika. H Witdarmono, Wartawan, Penerbit Koran Anak BERANI, Jakarta Sumber: Kompas, 23 November 2010

CERITA MENYENTUH KARNA KETIDAKMAMPUAN TULIS BACA

27/03/2010 THE READER: AIB BUTA AKSARA http://radiobuku.com/tag/buta-huruf/ Sejauh mana seseorang akan bertahan memegang sebuah rahasia? Hanna Schmitz mengenggam kuat-kuat rahasianya hingga ajal tiba. Ia memilih menjalani sisa hidupnya dalam penjara dari pada membuka rahasia. Ini adalah rahasia yang tak ingin ia kuak meski hidupnya menjadi pertaruhan. Ia malu bila rahasia itu diketahui orang lain. Hanna tak mau seorangpun tahu bahwa ia buta huruf. Hanna seorang petugas kontrol tiket kereta trem di Jerman. Pekerjaannya saban hari adalah meminta tiket pada penumpang, kemudian melubanginya. Ia tak butuh ketrampilan baca tulis untuk melakukan itu. Dan tak seorang pun tahu rahasia itu. Hingga pertemuan dengan seorang bocah umur 15 tahun di sebuah sore yang hujan membawanya pada perkenalan dengan tradisi membaca. Bocah itu Michael Berg. Hanna menolong Mike ketika muntah di depan apartemennya, sepulang sekolah pada suatu sore. Pertemuan pertama itu membawa Hanna dan Michael pada pertemuan kedua lalu ketiga. Di pertemuan ketiga inilah, dua manusia beda umur 21 tahun itu malakukan persetubuhan. Pengalaman pertama bagi Michael. Dan sepanjang musim panas Michael membagi kesenangan baru bagi Hanna: membaca buku diantara persetubuhan. Hanna tak ingin Micahel tahu bahwa ia tak bisa membaca. Ia malu.“Aku lebih suka mendengarmu”, kilahnya. Maka Michael pun mulai membacakan buku demi buku. Dari The Odyssey, The Lady with the Little Dog, Adventures of Huckleberry Finn, hingga komik Tintin. Saban satu buku satu percintaan, begitu aturannya. “Bacakan, lalu kita bercinta”,kata Hanna. Membaca buku berhadiah persetubuhan itu pun menebar di ranjang, di meja makan, hingga di kamar mandi. Dan musim panas berlalu. Hanna mendapat promosi untuk bekerja di kantor, tidak lagi di atas trem. Itu berarti ia harus meninggalkan kota sekaligus meninggalkan kekasih yang tekun membacakan buku untuknya. Tepat dihari ulang tahun Michael, usai sebuah percintaan, Hanna pergi tanpa pamit. Perjumpaan mereka terjadi bertahun kemudian ketika Michael telah menjadi seorang mahasiswa fakultas hukum Universitas Heidelberg. Professor Rohl meminta mahasiswanya untuk mengamati sebuah persidangan. Itu adalah sidang yang sedang memproses kejahatan perang (Nazi) atas 6 orang terdakwa perempuan penjaga SS. Sebuah kebakaran menyebabkan 300 orang Yahudi meninggal dalam kamp konsentrasi karena pintu gereja tidak dibuka oleh penjaga SS. Salah satu diantara terdakwa itu adalah Hanna. Sidang menyudutkan Hanna. Lima orang kawannya yang lain mengatakan bahwa Hanna lah yang bertanggung jawab atas semua keputusan. Ia yang bertandatangan atas laporan daftar urutan pembinasaan orang-orang dalam kamp. Hanna menolak tuduhan itu. Setiap keputusan selalu disepakati bersama. Pengacara meminta Hanna membuktikan bahwa bahwa tulisan tangan dalam laporan bukanlah tulisannya. Sebuah kertas dan pulpen disodorkan padanya. Hanna terdiam. Tak bereaksi. Saat itulah Michael tahu bahwa Hanna sesungguhnya tak dapat membaca menulis. Ia mendapat alasan mengapa Hanna lebih suka dibacakan buku. Juga mengapa Hanna nampak bingung ketika membaca menu restoran. Dan mengakui bahwa ia tak dapat membaca menulis adalah aib bagi Hanna. Maka ia memilih mengakui bahwa dirinyalah yang menulis laporan itu. Kertas dan pulpen itu tak sedikitpun disentuhnya. Bagi Hanna, lebih baik ia dituduh membantai 300 orang dari pada harus mengakui bahwa ia buta huruf. Ia genggam rahasia itu baik-baik. Michael gusar. Ia tahu kebenarannya. Hanna tak menulis laporan itu, apalagi menandatanganinya. Menulis namanya sendiri pun Hanna tak mampu. Michael mengalami dilema. Satu sisi ia memiliki tanggung jawab moral untuk mengatakan apa yang diketahuinya. Disisi lain ia harus menghormati Hanna yang sangat kukuh memegang rahasianya. Michael menghormati itu. Dan, Hanna mendapat vonis seumur hidup. Rahasia itu tetap terjaga. Selama Hanna dalam penjara, Michael telah menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Namun pernikaha itu tak berjalan lama. Michael memilih berpisah. Ada perasaan dari masa lalunya yang terus merundungnya dengan rasa bersalah. Pencerahan datang ketika Michael membuka beberapa buku lawasnya dan teringat percintaan dengan Hanna semasa ia bocah. Michael kemudian tergerak untuk membaca, merekamnya, dan mengirimkan kaset pada Hanna di penjara. Mendapati kiriman kaset-kaset buku itu, Hanna seperti menemukan semangat baru dalam penjara. Ia mendengarkan semua buku. Menanti kiriman baru saban minggu. Michael pun menghabiskan waktu dengan membaca berkardus-kardus bukunya. Semua dibaca, direkam, dikirimnya. Buku cerita lucu, novel, hingga komik. Hanna terbiasa mendengarkan. Selain kaset, ia juga dikirimi buku oleh Michael. Dari sana, ia belajar menulis. Ia mendengar kata ‘the’ dan ia dapati huruf-huruf yang membentuk kata ‘the’ dalam buku. Hanna menemukan sendiri metode belajar menulisnya. Ia mencari bunyi dan rangkaian hurufnya dalam buku. Perlahan, ia dapat menulis surat pendek. Ia kirimkan surat-surat untuk Michael, namun tak pernah berbalas. Meski kaset-kaset tepat dikirimkan Michael. Hingga masa pembebasan untuk Hanna tiba. Sebagai satu-satunya kenalan Hanna, Michael diminta Kepala Penjara utuk menjemput dan mencarikan tempat tinggal untuk Hanna. Setelah 30 tahun, pertemuan dua manusia yang memendam hasrat itu terjadi. Semua sudah berubah. Meski dinanti, namun pertemuan itu menguak luka masa lalu. Usai pertemuan, Hanna menggantung diri di kamarnya dengan menjadikan buku-buku sebagai pijakan. Ia selesaikan kebutaannya pada aksara dengan kematian. Sebuah kaleng teh berisi uang dan tabungan di bank ia tinggalkan untuk diberikan pada Ilana, salah seorang korban selamat. Uang itu kemudian disumbangkan untuk organisasi yang bergerak menangani buta huruf pada orang dewasa, terutama Yahudi. Rahasia itu terbayar sudah. Bagi Hanna, lebih memalukan mengakui dirinya buta huruf daripada mengakui ia telah membantai 300 nyawa. Dibawanya rasa malu itu ke kubur gelap tepat di ujung pencerahan yang ia dapati setelah mampu membaca-menulis.(Diana AV Sasa

BERBAGI TIDAK HARAP KEMBALI

PENDIDIKAN BACA TULIS Prapti Wahyuningsih | Kompas http://radiobuku.com/tag/buta-huruf/ ”Bila ada umur panjang, izinkanlah aku berbagi makanan.Bila ada umur panjang, izinkanlah aku berbagi pakaian.Bila saat ini dipandang hina karena keadaanku, izinkanlah suatu saat aku mempunyai sekolah.” Doa itulah yang disampaikan Prapti Wahyuningsih pada malam Idul Fitri puluhan tahun lalu. Doa kala lapar karena tak punya uang ternyata memberikan kekuatan dalam perjalanan hidupnya. Setelah berdoa, mendadak rasa laparnya hilang. Bahkan, ia bersemangat menjalani pekerjaannya sebagai buruh. Ibunya pun mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh anak-anak tetangga. ”Tuhan mungkin ingin agar kami tidak menyerah, mungkin ada hal lain yang Dia inginkan untuk kami lakukan,” ujar Ningsih, panggilannya. Tahun berganti, perjalanan hidupnya tak berubah. Pangkat tertinggi sebagai buruh hanya pengawas keuangan. Namun, karena melihat banyak ketidakadilan terhadap buruh dan mulai berkenalan dengan organisasi buruh, ia lantas bergabung dengan salah satu organisasi buruh. ”Saya mulai banyak membaca berbagai macam buku. Entah mengapa, saya mudah menangkap isi buku tentang buruh. Mungkin karena saya adalah salah satunya,” kata Ningsih yang menjadi buruh sejak berusia 11 tahun. Tahun 1999 ia berhenti bekerja dan memilih konsentrasi berjuang untuk masyarakat miskin. Ia merintis Sanggar Budaya Anak Indonesia (Sang Budi) yang mengajarkan bernyanyi dan membaca anak di sekitar tempat tinggalnya. Hasil dari banyak membaca buku, ia yakin pendidikan itu amunisi utama yang harus dimiliki kaum miskin di Indonesia. Tanpa pendidikan, mereka terus tertindas. ”Saya teringat doa saya ketika ingin membuka sekolah. Dalam bayangan saya, sekolah adalah tempat berbagi ilmu dan pengetahuan antarmanusia, bukan sekadar gedung,” ujarnya. Sekolah hijau Ningsih lalu berkelana. Pengalaman pertamanya terjadi di Cibenda, Ciampel, Karawang, tahun 2002. Desa itu terletak di tengah pabrik-pabrik besar. Malam hari, saat cerobong asap tak berhenti membuat polusi, kampung gelap dan sunyi. Idenya membuat sekolah muncul saat melihat petani ditipu bandar dalam jual-beli jagung. Bandar mengklaim hasil timbangan lebih ringan daripada seharusnya. Tak ada protes dari petani karena ia tak bisa baca-tulis. Namun, ia ditertawakan warga saat mengusulkan membuat sekolah. Dia lalu mengajari anak-anak. ”Tempatnya berpindah-pindah, di tepi sungai atau di lapangan. Tadinya hanya seorang anak yang mau belajar, baru diikuti belasan anak lain,” ujarnya. Usaha Ningsih membuahkan hasil. Beberapa hari kemudian, saat ada lagi petani ditipu, anak didiknya mengatakan bahwa timbangan itu salah. Untuk pertama kali, sang bandar ketahuan ”belangnya”. Tempat kedua Ningsih adalah Desa Tapos, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, pada 2003. Di sini anak-anak hanya mendapatkan pendidikan agama. Mereka fasih berbahasa Arab, tapi kurang paham bahasa Indonesia. Saat ia bertanya siapa yang pernah ke Kota Bogor, hanya sedikit anak yang mengacungkan tangan. Saat dia tanya siapa yang pernah ke Jawa Barat dan Indonesia? Justru tak ada seorang pun yang mengangkat tangan. ”Itu artinya, pendidikan belum dinikmati semua anak Indonesia. Saya lalu mengajar baca-tulis dan menyanyi, seperti di Sang Budi,” ujar Ningsih yang menolak beasiswa pendidikan tinggi di luar negeri dari salah satu perusahaan karena perbedaan prinsip. Sempat pulang ke Solo untuk merawat orangtuanya yang sakit, tahun 2007 Ningsih pergi ke Bandung. Ia bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menggarap isu masyarakat dan lingkungan. Tinggal di kota besar membuatnya akrab dengan sampah plastik. Ia membuat warung kepercayaan, di mana masyarakat bebas mengambil, membayar, bahkan memasak sendiri. Cara itu ternyata meringankan orang-orang di sekitarnya. Namun, sampah plastik muncul menjadi masalah. Berbekal keterampilan menganyam daun kelapa saat kanak-kanak, ia mengolah sampah plastik menjadi kerajinan pedang-pedangan hingga dompet. Ia lalu menularkan keterampilannya itu kepada warga yang mau belajar. Dengan pinjaman uang dari Suster Irene OSU dari Santa Angela, ia menyewa rumah di daerah Cigending, Ujungberung, Bandung. Di sini ia kembali memperkenalkan produk berbahan baku sampah plastik. Hasilnya, banyak ibu rumah tangga yang mau belajar membuat produk serupa. Di sinilah konsep sekolah hijau benar-benar ia terapkan. ”Sekolahnya tidak formal. Saya fokus pada pengolahan sampah dan pemahaman pola hidup sehat, seperti tidak menggunakan penyedap rasa buatan. Warga juga merintis taman kanak-kanak yang pengajarnya pun warga yang bisa baca-tulis,” kata Ningsih yang ikut mendirikan organisasi Sarikat Hijau Indonesia. Zakat sampah Ningsih kemudian membuat program zakat sampah. Di sini sampah plastik rumah tangga dikumpulkan, lalu dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga ramah lingkungan. Cara ini berhasil membesarkan sekolah hijau. Awal 2010 Ningsih meninggalkan Cigending karena ingin warga bisa mengelola secara mandiri program sekolah hijau yang telah dirintisnya. Ia ingin mengembangkan sekolah hijau di banyak tempat lain. ”Saya sempat sedih karena dianggap tak bertanggung jawab. Namun, saya juga bahagia karena warga mau meneruskan konsep sekolah hijau itu. Ini berarti semangat sekolah hijau sudah tertanam,” ujarnya. Maka, sejak Maret 2010, Ningsih berada di Kampung Cikasimukan, Desa Mandala Mekar, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Ia melakukan pendekatan yang sama, yakni lewat zakat sampah. Di sini pun upayanya relatif berhasil, warga secara mandiri mendirikan taman kanak-kanak. ”Berbagi itu rupanya sudah menjadi hal langka,” kata Ningsih yang mengaku hidup dari bantuan masyarakat. Buktinya, apa pun yang ia tawarkan kepada warga relatif mendapat sambutan hangat. Setelah usahanya membuat semakin banyak orang bisa baca-tulis relatif berhasil, Ningsih sering diminta oleh berbagai pihak untuk berbagi ilmu. Ia pernah didaulat menjadi guru tamu yang mengajarkan tentang wirausaha dan lingkungan di hampir semua kota dan kabupaten se-Jawa Barat. Pada peringatan Hari Kartini, 21 April lalu, Ningsih menjadi salah satu penerima penghargaan A Tribute to Woman 2010 dari Plaza Semanggi, Village Mall, dan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Ia dianggap mampu mengubah hal kecil menjadi bermakna bagi masyarakat. (Cornelius Helmy) Sumber: Kompas, 19 Agustus 2010