Rabu, 09 Juli 2014
ANAK TKI DI PERKEBUNAN MALAYSIA
28/07/2012
SOEPENO BEBASKAN 50 RIBU ANAK TKI DARI BUTA HURUF
http://radiobuku.com/tag/buta-huruf/
Jakarta Dengan nada optimis, Soepeno Sahid memulai cerita ketika menginjakkan kaki pertama kali di Sabah, Malaysia. Menjabat sebagai Konsul Jenderal sejak 2010 lalu, permasalahan menumpuk di kantornya terutama anak-anak TKI.
” Ada 400 ribuan TKI di sini. 50 ribu anak-anak mereka itu buta huruf semua,” kata Soepeno kepada detikcom di kantor KJRI Sabah, Lorong Kemajuan, Karamunsing, Kota Kinabalu Sabah, Malaysia, Jumat (27/7/2012).
Pada awal dia menginjakan di perkebunan-perkebunan sawit, banyak anak-anak TKI ini sudah memakai HP. Namun saat mengisi surat keterangan mereka tidak bisa mengisinya.
“Dari situ saya tahu mereka buta huruf,” ujar pria yang pernah bertugas di Papua New Guinea pada era 90-an ini.
Mendapati realitas ini, dia lalu menggeber Konsulat Jenderal RI (KJRI) untuk membuat program mengajar bagi anak-anak Indonesia tersebut. Namun kendala muncul yaitu perizinan lembaga sekolah dari pemerintah Malaysia.
“Kita tidak bisa asal mendirikan sekolah, ini negara orang,” kisah Soepeno.
Lantas dia mulai menyusun strategi yaitu yang pertama dilakukan adalah mendatangi para pemilik perusahaan kelapa sawit. Soepeno lalu melobi perusahaan kelapa sawit ini untuk mengalokasikan dana Coorporate Social Responsibility (SCR) untuk dikucurkan bagi pendidikan anak-anak TKI ini.
Langkah selanjutnya yaitu mempersiapkan sarana belajar, buku guru dan insentif guru. Karena alasan mendesak dan darurat, untuk guru cukup lulusan SMA sudah diperkenankan mengajar. “Asalkan bisa mengajar 3M yaitu membaca, menghitung dan menulis, silahkan mengajar. Mereka umumnya relawan dari TKI yang bekerja di sini,” bebernya.
Selanjutnya dilakukanlah berbagai lobi antar pejabat kedua negara. Sehingga Kerajaan Malaysia mengizinkan lembaga Learning Center (LC) di berbagai penjuru Sabah. Momentum ini langsung bersambut dengan mendirikan LC hingga lebih dari 100 kelompok LC tetapi Pemerintah Malaysia baru meloloskan 6 LC. Diharapkan dengan adanya LC ini, ribuan anak-anak buta huruf bisa melek dan menjadi warga negara Indonesia yang baik.
“Kalau untuk TKI, dari 400 ribu an orang, 90 persen bekerja di ladang sawit. Sisanya di bekerja di bagian konstruksi, manufacture, kilang/pabrik, jasa dan PRT,” kata Soepeno.
(asp/ahy)
*) detik, 28 Juli 2012
20/01/2011
DPR KECEWA TRAGEDI NOL BUKU DI INDONESIA
BOGOR – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR RI prihatin dan kecewa terhadap Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang hingga saat ini belum memiliki blue print (cetak biru) pengembangan perpustakaan nasional. Mengingat saat ini, dalam hal membaca, Indonesia ada di peringkat 57 dari 65 negara di dunia, atau orang Indonesia dalam setahun hanya mampu membaca 27 halaman, atau terjadi tragedi nol buku di Indonesia.
“Kami sangat prihatin sampai hari ini, PNRI belum memiliki blue print untuk mengembangkan perpustakaan tanah air, padahal blue print ini memiliki peran yang sangat penting untuk memajukan bangsa kita. Adanya cetak biru itu, diharapkan menjadi solusi untuk upaya meningkatkan budaya membaca masyarakat, sekaligus memajukan peradaban bangsa,” kata Rohmani dari FPKS, sebagaimana dalam siaran persnya yang diterima via surat elektronika, Kamis (20/1/2011).
Dalam siaran pers itu disebutkan, pernyataan keprihatian FPKS itu dinyatakannya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X dengan pejabat PNRI di Gedung DPR RI pada Rabu lalu.
Dijelaskannya, berdasarkan penilaian internasional yaitu Programme for International Student Assessment (PISA) Tahun 2009, dalam hal membaca, Indonesia berada diperingkat 57 dari 65 negara di dunia, di bawah Thailand (50) dan jauh dibawah Jepang (8).
“Kami sedih, ternyata masyarakat kita rendah sekali minat membacanya. Dalam 365 hari rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca 27 halaman. Atau, untuk membaca 1 halaman, masyarakat kita memerlukan waktu 2 pekan. Coba bandingkan dengan Jepang yang siswanya membaca 15 buku dalam 1 tahun. Inilah yang disebut tragedi nol buku,” tambah Rohmani.
Rohmani juga menyesalkan tidak adanya langkah nyata dari PNRI. Laporan yang disampaikan pejabat PNRI dalam RDP tersebut masih normatif. Belum menunjukkan substansi dari masalah yang dihadapi. Hal ini karena PNRI belum memiliki cetak biru pembangunan perpustakaan nasional.
“Saya melihat laporan ini bukan cerminan persoalan kita sekarang. Ada persoalan yang jauh lebih besar yaitu persoalan minat baca bangsa kita. Membangun perpustakaan harus seiring dengan upaya untuk membangkitkan minat baca. Jangan sampai perpustakaan hanya menjadi gudang buku karena ada yang mau berkunjung dan membaca buku di sana,” tukas Rohmani.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, Komisi X DPR RI mensepakati dibentuk Panitia Kerja (Panja) tentang perpustakaan dan minat baca. Panja ini akan bekerja untuk merumuskan cetak biru perpustakaan yang akan menjadi panduan dan grand strategy pembangunan perpustakaan nasional dan budaya membaca. Panja ini nantinya akan melibatkan beberapa departemen yang terkait dengan perpustakaan nasional.
“Karena ini sangat penting untuk kepentingan bangsa, maka harus melibatkan departemen terkait. Seperti pendidikan nasional, pariwisata dan kebudayaan serta pemuda dan olah raga. Persoalan perpustakaan bukan hanya masalah infrastruktur atau pengadaan buku semata. Dan, yang jauh lebih penting adalah bagaimana meningkatkan minat bangsa ini,” kata Rohmani.
Disamping itu ia juga menekankan agar pejabat PNRI memperhatikan daya serap anggaran yang masih lemah. Anggaran Rp 443 miliar itu masih tergolong kecil untuk persoalan sebesar itu. “Sayangnya, anggaran sekecil itu pun tidak terserap,” tegas Rohmani.
Sumber: Portal Online Kompas, 20 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar