Rabu, 09 Juli 2014

ULASAN DEA SALSABILA AMIRA TENTANG PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU MILENIUM 2015

ULASAN DEA SALSABIRA AMIRA (MHSW MANAJEMEN S1 FEB / GLOBAL YOUTH AMBASSADOR OF A WORLD AT SCHOOL UNITED NATION 2014) TENTANG PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU MILENIUM 2015 (Updated: 14-05-2014 08:31 WIB) http://www.mercubuana.ac.id/newsx.php?mode=b
aca&pct_no=964&l= Indonesia sebagai negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke, merupakan negara berkembang yang ditandai dengan pertumbuhan diberbagai aspek, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, komunikasi dan informasi. Pendidikan merupakan senjata dalam memajukan suatu bangsa, salah satu aspek penting dalam pendidikan saat ini adalah keaksaraan. Saat ini terdapat 57 juta anak anak di seluruh dunia yang tidak mendapatkan hak atas pendidikan dasar dan terdapat 2,5 juta anak Indonesia yang putus sekolah. Mayoritas penduduk Indonesia memang sudah melek aksara. Tetapi, menurut badan pusat statistik sebanyak 12,8 juta penduduk Indonesia masih buta aksara. Padahal tinggi rendahnya tingkat buta aksara suatu bangsa menunjukkan kualitas pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa tersebut. Keaksaraan saat ini menjadi hal yang penting, dimana tingkat melek aksara dijadikan sebagai salah satu faktor dari variabel pendidikan yang dipakai untuk menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu negara. Menurut laporan UNESCO tahun 2006, masalah buta aksara telah menjadi persoalan yang terjadi hampir di semua negara atau di 203 negara yang dilaporkan oleh UNESCO. Pria Gunawan, Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan hingga kini sebanyak 3,6 juta warga Indonesia masih buta aksara. Provinsi yang memiliki warga buta aksara paling banyak adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebanyak 16,48%, Nusa Tenggara Timur 10,13%, Sulawesi Barat 10,33%, Papua 36,31%. Sedangkan Provinsi Jawa Timur jumlah warga yang buta aksara sebesar 7,87%. Persentase rata-rata nasional ketunaksaraan usia 15-59 tahun secara nasional berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010 mencapai 5,02% dari jumlah penduduk di Indonesia yakni sebanyak 7,5 juta jiwa. Masih tingginya angka buta aksara di Indonesia karena pemerataan keaksaraan di masing-masing daerah tidak sama. Diharapkan semua pihak ikut berpartisipasi untuk menyukseskan pendidikan keaksaraan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah buta aksara telah menjadi masalah global yang sampai saat ini masih belum sepenuhnya tuntas. Oleh karena itu, buta aksara harus diberantas untuk mencerdaskan sekaligus mensejahterakan rakyat. Buta aksara adalah masalah yang sangat serius karena jika seseorang tidak berkemampuan untuk membaca dan menulis akan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. UUD 1945 mengamanatkan kepada semua warga negara untuk memberantas buta aksara sesuai dengan tujuan Negara yang tertuang didalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga terdapat pada BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN pasal 31 ayat 1 yang berbunyi Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Secara nasional program pemberantasan buta aksara telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 60-an. Upaya tersebut antara lain Pemberantasan Buta Huruf (PBH), program kejar paket-A dan paket OBAMA (Operasi Bhakti ABRI Manunggal Aksara), fungsional (KF) dan lainnya. Namun upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (CALISTUNG) bagi masyarakat buta aksara tersebut belum sepenuhnya efektif. Hambatannya antara lain adalah kurangnya motivasi masyarakat buta aksara. Hal ini dapat dilihat dari kurang bersemangatnya masyarakat ketika mengikuti program yang berkaitan dengan pemberantasan buta aksara. Selain itu metode dan media pembelajaran yang kurang menarik serta kurang tepat. Mengingat warga buta aksara kebanyakan berusia dewasa. Upaya tersebut perlu didukung dengan media pembelajaran yang dapat menarik minat serta memudahkan masyarakat buta aksara untuk belajar CALISTUNG. Program keaksaraan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah buta aksara, dimana program ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang buta aksara. Ditinjau dari latar belakang ekonomi, warga belajar program KF berasal dari kelompok miskin dan marjinal, dan secara geografis mereka berasal dari daerah terpencil atau masyarakat pinggiran seperti pedesaan. Pada umumnya warga belajar yang buta aksara dan mengikuti program keaksaraan fungsional terdiri dari dua karakteristik, yaitu yang berasal dari buta aksara murni (sama sekali tidak dapat membaca, menulis dan menghitung) dan mereka yang di DO (Drop Out) dari Sekolah Dasar (setara SD/MI) kelas 1-3. Mereka sebagian besar bisa mengenal aksara namun tidak bisa mengaplikasikannya kedalam sebuah kalimat sederhana, mereka inilah yang memerlukan layanan pendidikan keaksaraan. Menurut wikipedia (2007), Buta huruf merupakan ketidakmampuan seseorang dalam mengenali huruf (membaca) dan angka (menghitung) serta membaca kalimat sederhana. Masyarakat yang buta aksara adalah masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan untuk membaca aksara Latin dan angka Arab, buta bahasa Indonesia dan pendidikan dasar. (Kusnadi:2006). Kriteria penduduk yang buta aksara terdiri dari buta aksara murni, yakni penduduk yang tidak bisa membaca sama sekali. Penduduk yang mengenal huruf, tetapi tidak bisa merangkainya menjadi sebuah kalimat dan yang terakhir adalah penduduk yang sudah bisa membaca kalimat sederhana, tetapi tidak dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua pihak harus ikut berpartisipasi. akademisi harus berperan aktif untuk memberantas masalah buta aksara ini, pemerintah Indonesia baik pusat maupun daerah sedang bekerja keras untuk mencapai target tujuan pendidikan milenium yang telah ditetapkan oleh PBB, target pendidikan milenium PBB adalah memastikan pada tahun 2015 semua anak anak, baik laki laki maupun perempuan bisa menyelesaikan pendidikan dasar secara penuh di tiap negara dengan sejumlah indikator. Indikator itu adalah tingkat partisipasi pendidikan dasar, proporsi kelulusan, dan angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Jika kita lihat fakta yang ada saat ini di Indonesia, target pendidikan milenium 2015 masih belum di garap secara matang, di wilayah papua saja terdapat 900.000 orang yang buta huruf dan 80% nya adalah penduduk di usia produktif. Menurut data yang dilansir oleh Sekretaris Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran di Papua, Protasius Lobya, rata rata jenjang sekolah yang dijalani masyarakat Papua hanya mencapai kelas 1 SMP saja. Pemerintah telah melakukan upaya pemberantasan buta aksara sejak tahun 60-an. Kegiatan tersebut menekankan pada peningkatan kemampuan membaca, menulis dan berhitung masyarakat buta aksara. Untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat buta aksara yang multi level (mempunyai beragam kemampuan keaksaraan) tentunya membutuhkan media pembelajaran. Para pengajar pada umumnya kesulitan untuk menyampaikan materi karena usia peserta didik yang sudah dewasa. Maka dari itu dibutuhkan media pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Identifikasi masalah usia masyarakat yang buta aksara pada umumnya adalah usia dewasa. Sehingga diperlukan konsep yang tepat bagi media pembelajaran masyarakat buta aksara yang berusia dewasa. Adanya kesulitan pengajar dalam menyampaikan materi. Metode dan media pembelajaran yang sudah ada kurang menarik dan kurang efektif. Media pembelajaran yang ada hanya bersifat satu arah dan kurang memberikan peran peserta didik dalam proses pembelajarannya Sekali kau belajar membaca, selamanya kau akan merdeka, kata-kata itu diucapkan oleh Frederick Douglass selaku pejuang penghapusan perbudakan (abolisionisme) di Amerika Serikat. Douglass mengakui, kemampuan membaca telah mengantarkannya berhasil keluar dari perbudakan. Negeri kita, Indonesia, juga pernah mengalami penjajahan selama ratusan tahun. Kartini menggambarkan masyarakat terjajah ini tidak ubahnya hutan rimba yang gelap gulita. Tetapi Kartini tidak pasrah dengan keadaan gelap-gulita itu. Ia sangat menyadari, bahwa keadaan gelap-gulita itu bisa diterangi dengan obor pengetahuan dan pencerahan. Karena itu, ia selalu berusaha untuk memajukan pengajaran bagi kaum pribumi. Semangat Kartini sangat gampang ditemui di setiap ruas pemikiran para pejuang kemerdekaan Indonesia. Makanya, tidaklah mengherankan bila salah satu tujuan nasional Kemerdekaan Indonesia. Maka saat Proklamasi Kemerdekaan baru usai dikumandangkan, pemerintahan Soekarno tidak hanya menyerukan mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda, tetapi juga memerintahkan menenteng pena dan buku untuk memberantas buta-huruf di kalangan rakyat Indonesia. Dimulai pada tanggal 14 Maret 1948, Bung Karno meluncurkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Padahal, saat itu Indonesia masih berjibaku dalam perang melawan kolonialisme Belanda. Mengenai hal itu, Bung Karno mengatakan: bukan saja kita menang di medan peperangan, tetapi juga di dalam hal memberantas buta-huruf kita telah mencapai hasil jang sangat menjugemaken dan itu adalah pula salah satu great achievement. Oleh karena itu Dea S. Amira (mahasiswa Manajemen FEB UMB) bersama seluruh perwakilan dari 100 negara lain di dunia, berjuang untuk bisa membantu perwujudan dari target pendidikan milenium 2015 dan pendidikan dasar yang berkelanjutan dengan memberikan kualitas pendidikan dasar yang layak bagi anak anak di dunia terutama di negara Indonesia. Sebagai Duta dari Indonesia untuk Global Youth Ambassador of A world at School UN, yang baru saja diresmikan pada tanggal 1 April 2014 oleh Sekretaris Jenderal PBB, Mr. Bank Ki Moon dan utusan khusus PBB untuk pendidikan global, Mr. Gordon Brown. Sebelum terpilih menjadi Global Youth Ambassador, Dea S. Amira memiliki sebuah pergerakan sosial yang diberi nama Uniting As One, berdiri pada bulan Mei 2013. Pergerakan ini dikhususkan untuk membantu anak anak yang kekurangan di Indonesia, seperti anak jalanan, anak difable dan anak anak penderita kanker. Namun fokus utama kami adalah membantu menyelesaikan permasalahan pendidikan dasar anak jalanan. Sejauh ini pergerakan sosial tersebut telah membantu anak anak jalanan di 3 kota yaitu Jakarta, Denpasar dan Surabaya. Dengan mengajar akan banyak mendapatkan modal sebagai bekal soft skills, saat masuk ke dunia kerja dan setelah terpilih menjadi Global Youth Ambassador, makin meyakinkan Dea S. Amira bisa berjuang untuk pendidikan anak anak jalanan di Indonesia dan membantu mengurangi angka buta huruf bagi anak anak Indonesia di wilayah terpencil dengan cara memberikan pendidikan yang layak melalui pengajaran tentang dasar membaca, menulis dan menghitung matematika. Impian Dea A. Amira adalah melihat fasilitas serta infrastruktur sekolah yang apik di tiap wilayah terpencil di negeri ini, serta pendidikan yang merata bagi seluruh anak bangsa. Keyakinannya jika para pemuda dan seluruh masyarakat bahu membahu membantu pendidikan di negeri ini, serta memastikan bahwa pendidikan dasar untuk anak anak adalah Hak Mutlak, yang harus diperoleh oleh tiap warga negara, maka bersama sama kita bisa membantu mewujudkan target pendidikan milenium 2015. Sekaligus mewujudkan generasi Emas Indonesia pada tahun 2030. Menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang maju karena pemuda pemudanya yang berkualitas. Jadi, kenapa tidak membuat hal ini menjadi kenyataan? ACTION BEGINS NOW, Join A World at School in campaign www.aworldatschool.org dan my movement campaign www.uaomovement.org or contact dea@uaomovement.org. (Biro Sekretariat Universitas & Humas / www.mercubuana.ac.id / humas@mercubuana.ac.id)

1 komentar:

  1. gan tulisannya kasih paragraf eh, rasanya sepet baca tulisan kyk gini :v

    BalasHapus